Kamis, 07 Januari 2016

filsafat islam ibnu sina



IBNU SINA
A.  Biografi Singkat Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali al-Husain ibnu ‘Abd Allah ibn Hasan ‘Ali ibn Sina.[1] Beliau di Barat populer dengan sebutan Avicenna.[2] Ibnu Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.
Ibnu Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti, matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum dan lain-lainnya. Bahkan dalam usia sepuluh tahun ia telah hafal al-Qur`an seluruhnya. Ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun, dengan kejaniusannya yang sangat mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapa pun. Karena kemampuannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi ini terjadi katika ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibnu Manshur, yang sebelumnya tidak seorang dokter mampu menyembuhkannya, dan berkat keberhasilannya  ia diberi kebebasan belajar di perpustakaan istana (Kutub Khana). Ia juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.[3]
Di antara guru yang mendidiknya ialah Abu ‘Abd Allah al-Natili dan Isma’il sang Zahid. Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan melebihi sang guru.
Ibnu Sina secara tidak langsung berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan tentang gurunya ini, bahwa Ibnu Sina berhutang budi kepada al-Farabi karena telah membantunya untuk keluar dari kesulitannya dalam memahami Metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal diluar kepala.
Ibnu Sina adalah pelanjut filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis oleh al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.[4] Beliau juga termasuk salah seorang ilmuan terbesar setelah ar-Razi dalam bidang kedokteran.
Nurcholish Majid menyatakan bahwa di sinilah letaknya keberuntungan dunua Islam. Walaupun dari segi politik dunia Islam boleh dikatakan telah porak poranda, akibat para penguasa saling bersaing dan saling mengungguli, namun mereka tetap mendorong dan saling melindungi kegiatan intelektual dan ilmiah. Oleh karena itu, kegiatan seperti ini berkembang bagaikan cendawan di musim hujan.[5]
Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat, sehingga dapat dinilai bahwa filsafat ditangannya telah mencapai puncaknya dan karena prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al-Syikh al-Ra’is (Kyai Utama).[6]
Sebagai pemikir inovatif dan kreatif yang umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka istana, Kutub Khana terbakar, ia dituduh membakarnya supaya orang lain tidak dapat menguasai ilmu yang ada di sana. Cobaan lain, bahwa ia pernah di penjarakan oleh putra al-Syams al-Dawlah, hanya semata-mata kedengkian dan ketidak sengangannya. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut dengan amirnya dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan diri hingga akhir hayatnya.[7]  

B.  Karya-Karya Ibnu Sina
Ibnu Sina juga merupakan salah seorang penulis yang luar biasa produktif sehingga ia tidak sedikit meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya terhadap generasi sesudahnya, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Di antara karya tulisnya yang terpenting, sebagai berikut[8]:
1.    Al-Syifa’
Karya tulis ini membahas tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian, yaitu: Ketuhanan, fisika matematika dan logika.
2.    Al-Najat
Al-Najat berisikan ringkasan dari kitab al-Syifa’. Karya tulis ini ditujukannya untuk kelompok pelajar yang ini mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
3.    Al-Qanun Fi al-Thibb
Berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam beragai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya.
4.    Al-Isyarat wa al-Tanbihat
Isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.

C.  Filsafat Ibnu Sina[9]
1.    Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Menurut Ibnu Sina, Nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaanya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi Nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materil yang disebut hads (kekuatan suci, quddsiyyat), sedangkan filosof melalui Akal Mustafad. Nabi memperoleh akal materil yang dayanya jauh lebih kuat dari pada Akal Mustafad sebagi anugrah Tuhan kepada orang pilihanNya. Sementara itu, filosof memperoleh Akal Mustafad yang dayanya jauh lebih rendah. Pengatahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina memberikan ketegasan tentang para Nabi dan para filosof. Mereka yang disebut pertama, menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya jadi Nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua adalah menusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi Nabi. 
Pembagian manusia dimajukan menjadi dua tingkatan, awam dan terpelajar, adalah hal yang biasa. Namun didapatnya yang mengatakan kebenaran dalam bentuk wahyu ditujukan pada tingkatan awam dan kebenaran dalam bentuk filsafat ditujukan pada tingkat terpelajar agak meragukan, tetapi apabila yang dimaksud kebenaran dalam bentuk wahyu secara eksplisit ditujukan pada tingkatan awam, maka dapat diterima. Namun yang jelas, Ibnu Sina dalam mengharmoniskan filsafat dan agama juga menggunakan takwil.
Dalam pandangan Ibnu Sina para Nabi sangat diperlukan dalam kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para Nabi dengan mukjizatnya dapat dibenarkan dan diikuti manusia. Dengan kata lain, kebenaran yang disampaikan Nabi, seperti adanya akhirat dan lain-lain, dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik secara rasional maupun secara syar’i.
2.    Ketuhanan
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalih wajib al-wijud dan mumkin al-wijud mengesankan duplikat al-Farabi. Akan tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi menjadi tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
a.    Wajib al-wujud
Esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa di pisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada kemudian berwujud, tetapi iawajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina membagi wajib al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil tidak diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua adalah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk yang pertama (wajib al-wujud li dzatihi la li syai’in akhar).
b.    Mumkin al-wujud
Esensi yang mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-wujud ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti ada dan tidak ada karenanya ia disebut dengan dengan mumkin al-wujud bi dzatihii. Ia pun dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mengcakup semua yang ada.

c.    Mumtani’ al-wujud
Esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi dengan dalil adanya wujud pertama, yakni wajib al-wujud. Jagad raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan sesuatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan yang pertama (Allah) kita tidak memerlukan memerlukan pada perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujudNya dengan salah satu makhlukNya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujudNya, namun pembuktian dalil diatas lebih kuat, lebih lengkap dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan al-Qur’an dalam surat al-Fussilat ayat 53 sebagai berikut:
óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ ÇÎÌÈ  
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
3.    Jiwa
Keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa dalam al-Quran dan hadis diistilahkan dengan al-nafs atau al-ruh. Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan, memancar dari Akal Sepuluh. Secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian berikut:
a.    Fisika
Membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
1.    Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya, yaitu makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi, jiwapada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh dan berkembang biak
2.    Jiwa binatang mempunyai dua daya, yaitu gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudrikat). Daya yang terakhir ini terbagi menjadi dua bagian:
a.    Menangkap dari luar (al-mudrikat min al-kharij) dengan panca indra.
b.    Menangkap dari dalam (al-mudrikat min al-dakhil) dengan indra-indra batin (al-hawas al-bathinat), yang terdiri atas lima indra berikut:
1.   Indra bersama (al-hiss al-musytarak), yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar.
2.   Indra al-khaiyyal, yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama.
3.   Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan dalam khayyal.
4.   Indra wahmiyah (estimasi) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.
5.   Indra pemelihara (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indra estimasi.
Dengan demikian jiwa binatang lebih tinggi fungsinya dari pada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh dan berkembang biak, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.
3.    Jiwa manusia, yang disebut juga al-nafs al-nathiqat, mempunyai dua daya yaitu peraktis (al-‘amilat) dan teoretis (al-‘alimat). Daya peraktis hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoretis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini mempunyai empat tingkatan berikut:
a.    Akal materil (al-‘aql al-hayulany) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
b.    Akal al-malakat (al-‘aql bi al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
c.    Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’il) yang dapat berpikir hal-hal abstrak.
d.   Akal mustafad (al-‘aql al-mustafad), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
b.    Metafisika
Membicarakan tentang hal-hal berikut ini:
1.    Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil, yaitu:
a.    Dalil alam kejiwaan
Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua jenis:
1.   Gerak paksaan, yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda, disebabkan ada dorongan dari luar.
2.   Gerakan tidak terpaksa, yaitu gerakan yang terjadi baik dan sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hukum alam, seperti batu jatuh dari atas ke bawah. Sementara itu, yang berlawanan dengan hukum alam, manusia berjalan dan burung terbang. Padahal, menurut berat badannya manusia harus diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini terjadi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim (badan). Penggerak ini disebut dengan jiwa.
b.    Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis.
 Oleh Ibnu Sina dalil ini didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya adalah jiwa, bukan jisimnya. Ketika anda berkata, saya akan keluar atau saya akan tidur, maka ketikaitu yang dimaksud bukanlah gerakan kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.
Begitu juga dalam masalah psikologi, terdapat keserasian dan kordinasi mengesankan yang menunjukkan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Sekali pun masalah itu berbeda-beda, bahkan terkadang saling bertentangan,namun semuanya berada pada satu fokus yang tetap dan berhubungan pada suatu dasar yang tidak berubah-ubah, bagaikan diikat dengan ikatan yang kokoh yang dapat menghimpun bagian-bagiannya yang berjauhan. Kekuatan yang menguasai dan mengatur tersebut adalah jiwa.
c.    Dalil kontinuitas (al-istimrar)
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain, selalu menglami perubahan. Sementara itu, jiwa bersifat kontinu (istimrar), tidak mengalami perbahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.
d.   Dalil manusia terbang atau melayang di udara.
Dalil ini menunjukkan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan. Meskipun dasarnya bersifat asumsi atau khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan.
Jika ada seseorang diciptakan sekalijadi dan mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian, diletakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidat melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia mengkhayalkan adanya tangan, kaki dan organ jasad lainnya, tetapi organ jasad tersebut ia khayalkan bukan bagian dirinya. Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan ahldari indra dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
Demikianlah  dalil-dalil yang dikemukakan Ibnu Sina sebagai bukti adanya jiwa.


2.    Hakikat jiwa
Definisi jiwa yang dikemukan Aristoteles yang berbunyi: ”kesempurnaan awal bagi jasadnya yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya, definisi tersebut belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles, manusia sebagaimana layaknya benda alam lain terdiri dari dua unsur: madad (materi) dan shurat (form). Materi adalah jasad manusia dan form adalah jiwa manusia. Form inilah yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasinya hancurnya meteri atau jasad akan membawa hancurnya form atau jiwa.
Justru itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaiman jasad. Kesatuan antara kedunya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat kepada Plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs jauhar qo’im bi dzatih).
Untuk mendukung pendapatnya Ibnu Sina mengemukakan beberapa argumen berikut:
a.    Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (ma’qulat) dan ini tidak dapat dilakukan oleh jasad. Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan objek pemikiran hanya terdapat dalam akal dan tidak mempunyai tempat.
b.    Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak (kulliy) dan juga zatnya tanpa alat. Sementara itu, indra dan khayal hanya dapat mengetahui yang konkret (juz’iy) dengan alat. Jadi, jiwa memiliki hakikat yang berbeda dengan hakikat indra dan khayal.
c.    Jasad atau organnya jika melakukan kerja berat atau berulang kali dapat menjadikan letih, bahkan dapat menjadi rusak. Sebaliknya, jiwajika dipergunakan terus menerus berpikir tentang masalah besar tidak dapat membuatnya lemah atau rusak.
d.   Jasad dan prangkatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya umur empat puluh tahun. Sebaliknya, jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat, kecuali jika ia sakit. Karenanya, jiwa bukan bagian dari jasad dan kedunya merupakan dua substansi yang berbeda.   
3.    Hubungan jasad dengan jiwa
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan Plato hubungan antara jiwa dengan jasad, Aristoteles menggambarkan keduanya bersifat esensial. Sebaliknya, Plato menghubungkan kedunya bersifat accident karena jiwa dan jasad adalah dua substansi yang berdiri sendiri.
Dalam hal ini Ibnu Sina menerima penekanan Aristoteles tentang eratnya hubungan jiwa dan jasad, namun hubungan yang bersifat esensial ia tolak karena jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Dengan ini ia lebih cendrung sependapat dengan Plato bahwa hubungan keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membawa binasa kepada jiwa.
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadinya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.
4.    Kekekalan jiwa
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia berbeda dengan tubuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celakanya) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulud). Jiwa, jiwa adalah baharu (al-hudus) karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).
Dalam menetapkan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil berikut:
a.    Dalil al-infishal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Karennya, jiwa kekal walaupun jasad binasa. Sementara itu, jasad tidak adanya hidup tanpa adanya jiwa.
b.    Dalil al-basathat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati. Pasalnya, hidup (hayat) merupakan sifat bagi jiwa, mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana dan mati. Karennya jiwa dinamakan juga dengan jauhar basith (hidup selalu).
c.    Dalil al-musyahabat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia, sesuai dengan filsafat emanasi, bersumber dari Akal Fa’al (Akal Sepuluh) pemberi segala bentuk. Akal Sepuluh ini merupakan esensi yang berpikir, azali dan akal, maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)-nya akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab) -nya.
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Di samping sebagai dasar berpikir, jiwa manusia juga mempunyai daya-daya yang terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Sina jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan. Sementara itu, jiwa tumbuhan dan hewan yang ada dalam diri manusia akan hancur dengan matinya badan dan tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat fisik dan jasmani, pembalasan untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia ini juga.
Demikianlah bahasan tentang Ibnu Sina, sekali pun kebanyakan pemikiran-pemikiran filsafatnya telah dikemukakan al-Farabi sebelumnya, namun ia telah berhasil memberikan uraian secara rinci dan lengkap dengan gaya yang menarik. Karenanya tepat sekali penilaian yang mengatakan bahwa ditangan Ibnu Sinalah filsafat di dunia Islam Timur mencapai puncaknya yang tertinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Madjid, Nurcholish. “Khazanah Intelektual Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Souyb, Yoesoef. “Pemikiran Islam Merobah Dunia”. (Medan: Firman Madju, 1984)
Zar, Sirajuddin. “Filsafat Islam”. (Jakarta: Rajawali Pres. 2007)


[1] Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam”, (Jakarta: Rajawali Pres, 2007), h. 91
[2] Yoesoef Souyb, “Pemikiran Islam Merobah Dunia” (Medan: Firman Madju, 1984), h. 129     
[3] Sirajuddin Zar, Op. Cit, h. 92  
[4] Ibid, h. 93
[5] Nurcholish Madjid, “Khazanah Intelektual Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 31
[6] Ibid.,
[7] Sirajuddin Zar, Op. Cit, h. 93-94
[8] Ibid.,
[9] Ibid., h. 59-112