Kamis, 07 Januari 2016

tafsir tahlili



PEMBAHASAN
Surat an-Nisa’ ayat 5-6
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ   (#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ  
Artinya:  Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.  Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).


A.    Munasabah ayat sebelum dan sesudah
Ayat diatas  menceritakan terhadap  pernikahan anak-anak wanita yatim dan lainnya, maka disini dibicarakan kembali tentang harta anak-anak yatim, dijelaskan hukum-hukum dan teknis pengembalian dengan sebaik-baiknya. Adapun anak-anak yatim pemilik harta yang belum sempurna akalnya, yang tidak dapat mengatur dan mengembangkan hartanya dengan baik, maka hartanya itu tidak boleh diserahkan kepada mereka. Mereka tidak berhak membelanjakan dan mempergunakan sendiri, meskipun hak kepemilikan pribadi tidak terlepas dari mereka.[1]
B.     Ma’na Mufradat
As-Sufaha’: bentuk tunggalnya safih artinya orang yang menyia-nyiakan harta dengan mengimpakkan kepada hal-hal yang tidak semestinya dibeli (dikomsumsi). Asal katanya as-Safah, artinya ringan dan gonjang. Berdasarkan pengertian itu, dikatakan Zamanun Safih, apabila dalam zaman tersebut benyak kengonjangan yag terjadi. Kemudian,  dikatakan Tsaubun Safih, artinya pakaian yang jelek tenunannya. Kemudian, kata itu dipakai untuk pengertian kurangnya kecerdsasan akal didalam mengatur (memanage) harta, dan makna inilah yang diamksud didalam ayat ini.[2]
            Qiyaman: tulang punggung urusan penghidupan,dan yang mencegah kamu dari kefakiran, Ar- raghib Al-Ashfahani mengatakan, “Lafaz Al-Qiwam, artinya sesuatu yang menegakkan dan menetapkan, seperti hanya tiang dan sandaran, karena hal itu dijadikan sebagai tiang penopang dan sandaran barang yang bertumpuk padanya.[3]
            Warzuquhum : Berikan mereka olehmu rezeki
            Al-Qaulu’l-Ma;ruf : perkataan yang enak yang dirasa oleh jiwa dan membuatnya jadi penurut. Misalnya, menberikan pemahaman kepada orang yang belum bisa tasharruf, bahwa harta itu adalah kepunyaannya, tidak ada seorang pun yang berkusasa atasnya.
            Anastum Minhum Rusydam: Kalian melihat dalam diri mereka sudah mulai bisa mentasharrufkan harta.
            Al-Bidar: bersegera dan cepat-cepat kepada sesuatu . dikatakan, Badartu ila syaiin wa badartu ilaihi, artinya, aku bersegara padanya.
            Fa `l-Yasta’fif: henndaknya ia menjaga kehormatannya. Al-Iffah, adalah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidal layak dilakukan.
            Al-hasib: Yang mengawasi.[4]
C.    Penafsiran Ayat

Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B
                        Kesempurnaan dan tidak kesempurnaan akal itu akan tampak bila sudah dewasa. Urusan rusy kesempurnaan akal` dan safah  ketidak sempurnaan akal itu biasanya tidak bisa disembunyikan, dan untuk menentukan batasan pengertiaanya tidak memerlukan nash. Karena, suatu lingkungan itu dapat mengenal siapa orang yang sempurna akalnya dan siapa yang tidak sempurna akalnya. Mereka merasa mantap tentang kesempurnaan pikiran itu. Oleh karena itu, pengujian terhadap anak yatim itu diklakukan untuk mengetahui kedewasaannya yang diungkapkan oleh nash itu dengan kata; Nikah: yaitu suatu kondisi yang menjadi kelayakan orang sudah dewasa.[5]
                        Muhammad Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya, janganlah kamu menyerahkan harta kepada anak-anak yatim yang menyia-nyiakan harta mereka yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan bagi raga dan kehidupan kamu, lalu mereka menyia-nyiakan harta itu. Ibnu Abbas berkata, “As-sufaha’ yaitu anak-anak kecil dan wanita.” Menurut Ath-Thabari, “janganlah kamu berikan kepada orang safih (lemah akalnya) hartanya, karena dia tidak akan dapat mengatur hartanya, baik dia masih kecil maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan.[6]
                        Sedangkan pandangan Ibnu Katsir dalam ayat ini. Allah swt melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan Tasarruf  (penggunaan)  harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka. Yakni para  wali merekalah yanag menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya.[7]
                        Berangkat dari pengertian ini disimpulkan bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijir (tidak boleh mentassarrufkan hartanya).  Mereka yang di hijir ini ada beberapa macam; adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab perkataan seorang anak kecil tidak diangkap (dalam Mua’malah).
                        Adakalanya hijir disebabkan penyakit gila. Adakalanya karena buruk dalam ber tasharruf, mengingat akalnya kurang sempurna atau agamanya kurang. Adakalanya karena pailit . Yang dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang laki meneggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat menutup utangnya itu. Untuk itu, apabila pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng hijir ­nya, maka ia terkena hijir (tidak boleh men tasharruf kan hartanya).[8]
.
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ%
Khitab pembicaraan ayat ini ditunjukkan kepada semua umat, dan larangannya mencakup setiap harta yang diberikan kepada orang dungu. Artinya, berikalah setiap anak yatim harta mereka apabila telah baligh, dan kepada setiap istri maharnya, kecuali apabila salah satu dari mereka adalaah orang safih (dungu), tidak bisa menggunakan harta benda . maka, cegahlah harta mereka agar jangan disia-siakan, dan peliharalah harta mereka itu olehmu hingga mereka dewasa.[9]
Sesungguhnya, dalam ayat ini dikatakan amwalakum, dan tidak memakai amwalahum. Sedangkan Mukhathab (orang yang diajak bicara) adalah wali anak-anak yatim dan harta yang dimakan adalah harta orang-orang dungu (safih), yang berada dalam asuhan mereka. Tujuannya ialah untuk mengingatkan kita. Bahwa jika sang wali menyia-nyiakan harta mereka. Wajib bagi sang wali menggantikannya dengan harta sendiri.
Jadi, seolah menyia-nyiakan harta anak yatim, sama saja dengan menyia-nyiakan harta sendiri, dan seolah harta sendiri itu ialah sama dengan harta anak yatim yang diasuhnya, ini juga mengingatkan, bahwa suatu umat itu, individu-individunya saling membahu dalam kemaslahatan. Jadi, seolah masalah setiap individu merupakan masalah bagi yang lainnya.[10]
öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur
                        Pengertian Ar-Rizqu disini mencakup semua segi pembelanjaan, seperti makan, tempat tinggal, kawin, pakaian (al-Kiswahh), yang kebanyakan orang-orang kadang meremehkan masalah pakaian ini. Dikatakan pula (Fihi) bukannya (Minha), sebagai isyarat yang menunjukkan bahwa harta yaang diambil sebagai objek rezeki itu dengaan cara mengembangkannya melalui perniagaan, kemudian nafkah yang diberikan kepada mereka (anak-anak yatim) adalah dari keuntungan perniagaan tersebut, bukan dari modal. Sebab, jika demikian, harta mereka otomatis akan habis dimakan. Artinya, wahai para wali yang telah dipercayakan kepada kalian memelihahra harta benda orang-orang safih dan yang mengembangkannya seolah harta mereka adalah harta kalian sendiri. Kalian harus memnberikan nafkah kepada mereka. Untuk itu, kalian harus menyediakan kebutuhan mereka yana menyangkut makanan, pakaian, dan lain sebagainya.
(#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B
                        Hendaknya setiap wali menasehati orang yang diasuhnya apabila ia masih kecil, ini adalah hartamu, aku hanyalah sebaagai penyimpanan. Jika kamu sudah besar, harta inni akan ku kembalikan padamu. Tetapi, jika yanng diasuhnya orang safih, hendaknya sang wali memberikan petuah dan nasehat padanya agar tidak menyia-nyiakan harta dan boros. Kemudian, berilah ia pengertian,bahwa akibat dari pemboroasan itu adalah kemiskinan, butuh pertolongan orang lain, dan sebagainya. Wali juga berkewajiban mengajari hal-hal yang bisa mengantarkannya kedewasaan. Dengan cara demikian, kondisinya akan lebih membaik, dan kemungkinan, sifat safih dirinya hanya sementara, bukan pembawaan dari lahir. Hanya dengan menasehati, membimgbing dan mengarahkan, sifat safih itu lambat laun akan hilang, dan ia akan tumbuh menjadi seorang dewasa.
                        Tetapi, mana pengamalan-pengamalan ketentuan tersebut? Kebanyakan orang yang diwasiati  dan para wali senang memakan harta orang-orang safih asuhannnya. Mereka, sengaja menunda-nunda waktu agar para asuhannya tetap safih dan beruapaya menghalang-halangi hal-hal yang sekiranya dapat menjadikan mereka dewasa. Tujuan utama mereka, tidak lain ingin tetap mencengkeram harta anak-anak yatim, orang-orang safih, dan bersenang-senang dengannya, mereka mempergunakan harta tersebut menurut keinginan dan hawa nafsunya.[11]
                        Ibnu Katsir dalam tafsirnya Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan  dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “janganlah kamu berniat terhadap hartamu dan apa yang diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu hal kamu berikan hal itu kepada istrimu atau anak perempuan, lalu kamu hanya menunggu dari pemberian apa yang ada ditangan mereka. Tapi penganglah hartamu dan berbuat kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu orang yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka.[12]
                        Setelah memerintahkan mereka agar memberikan anak-anak yatim, harta mereka secara global, kemudian berikut ini Allah menjelaskan secara rinci cara memberikan harta tersebut kepada mereka, Firman Allah swt:
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr&
                        Menguji anak yatim itu dengan cara memberi sedikit harta untuk digunakan sendiri. Apabila ia mempergunakannya dengan baik, berarti ia sudah dewasa. Karena yanag dimaksud deasa disini ialah apabila ia telah mengerti dengan baik cara menggunakan harta benda dan membelanjakannya. Hal itu suatu pertanda ia berakal sehat dan berpikir dengan baik.
                        Yang dimaksud dengan mencapai nikah ialah jika umur anak telah mencapai batas siap menikah, yakni ketika mancapai umur baligh. Dalam usia tersebut jiwa seseorang cendrung ingin membangun rumah tangga, menjadi seoraang suami dan ayah bagi anak-anaknya kelak.dan keinginin takkan terealisasikan kecuali dengan harta. Karena itulah, memberikan harta kepadanya yang memang hak hukumnya wajib, kecuali jika sang anak yatim itu safih, sekalipun ia telah mencapai umur baligh dan dikhawatirkan akan menyia-nyiakan harta miliknya.
                        Makna ayat: wahai para wali, ujilah oleh kalian anak-anak yatim yang ada dalam pemeliharaanmu sampai mereka mencapai umur baligh, yakni ketika mereka sudah pantas membina rumah tangga (baligh). Jika kalian merasakan dalam diri mereka terdapat tanda-tanda kedewasaan, berikanlah harta mereka. Jika tidak, ujilah terus  hingga mereka benar-benar dewasa.
                        Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa memberikan harta anak yatim ialah jika mereka telah mencapai umur duapuluh lima tahun, sekalipun belum tampak dewasa (cara berpikirnya).[13]
Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4
                        Jangan kamu memakan harta anak-anak yatim dengan cara berlebih-lebihan dalam membelanjakannya, sekalipun hal itu kamu tunjukkan kepada anak yatim sendiri. Jangan pula kamu tergesa-gesa menyusul kedewasaan mereka dalam mempergunakan harta tersebut. Dengan kata lain, jangan kamu mendahului kedewasaan umur tatkala mereka mengambil harta tersebut dari tanganmu; orang yang paling dahulu diantara kamu dan mereka, dialah yang beruntung mendapatkannya. Sebagian wali yang rusak (tidak memperhatikan) tanggungannya terburu-buru menggasak harta anak yatim dengan membelanjakannya untuk manfaat tertentu, sedangkan anak yatim tidak mendapatkan bagian. Tujuan mereka agar tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, mumpung anak-anak yatim belum dewasa dan mengambil harta dari tangannya.
                        Mengingat perlakuan tersebut, yaitu berlebih-labihan dalam membelanjakan dan mendahului kedewasaan anak yatim dengan melangkahi hak-hak mereka dimasa mendatang, yaitu dengan mempergunakannya untuk kemanfaatan dirinya, perbuatan-perbuatan itu merupakan titik kelemahan yang selalu mengaancam manusia pengemban tugas ini. Oleh karena itu, Allah melarang kedua  perbuatan tersebut, dan mengingatkan para wali akan bahaya kedua perbuatan tersebut, agar mereka selalu ingat bahwa Allah senantiasa mengawasi gerak-gerik mereka manakala godaan itu melanda dirinya.
                        Terkadang, seseorang berpura-pura tidak mengerti tentang batasan berlebih-lebihan, dan mendahului harta anak yatim dengan menpergunakannya denga tujuan pribadi. Tega ia memakai cara itu, jika mereka tidak menipu dengan terus terang, ketika tampak jelas akan berkhianat.
                        Mengenai makanan harta anak yatim tanpa berlebih-lebihan dan bukan karena khawatir akan diambilnya apabila ia mencapai umur baligh, hal itu jelas dijelaskan oleh Allah melalui firman-Nya:
`tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/
                        Barang siapa diantara kalian berkecukupan sehingga tidak membutuhkan sesuatu pun dari harta anak yatim yang berada dalam kekuasaanya, hendaknya mencegah diri dari memakan harta tersebuta. Dan barangsiapa miskin hingga terpaksa menggunakan harta anak yatim yang telah menyita sebahagian waktunya guna mengembangkan dan memeliharanya, hendaknya ia memakan dari harta itu dengan cara yang baik, cara yang baik maksudnya, sesuai denga ketentuan syara’ dan tidak diingkari oleh orang-orng yang mempunyai harga diri. Juga bukan termasuk suatu penghianatan dan ketamakan.
#sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ
            Jika kamu, wahai para wali, dan orang-orang yang diberi wasiat menyerahkan harta yang dititipkan kepada kalian kepadaa anak-anak yatim, maka adakanlah kesaksian dalam serah terima dan pembebasan tanggunganmu atas harta tersebut, agar kelak tidak terjadi persengketaan diantara kalian yang bersangkutan.
            Kesaksian itu, menurut mazhab Imam Syafi’i dan Maliki, hukumnya wajib. Sebab, mengaibaikan hal itu berarti akan membuka pintu persengketaan dan peradilan seperti banyak kita saksikan. Tetapi, mazhab Hanifah berpendapat hanya sunnah saja, bukan wajib.

4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym
Cukuplah Allah sebagai pengawas kalian. Dialah yang akan menghisab hal-hal yang tersimpan dalam diri kalian dan hal-hal yang kalian tampakkan. Ayat itu diturunkan diturunkan sesudah ada perintah mengadakan kesaksian yang disebutkan ayat sebelumnya. Tujuannya ialah, untuk memeberikan pengertian kepada kita, bahwa kesaksian itu,  sekalipun dapat mengugurkan dakwaan yang menyangkut harta anak yatim dihadapan sang Qadhi, tetapi hal itu tidak bisa menggugurkan hak yang sebenarnya dihadapan Allah, apabila ternyata sang wali berbuat khianat. Sebab, sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dalam diri para saksi dan para hakim.
Pada prinsipnya, Allah swt, sebagaimana yang telah anda ketahui, meliputi harta anak yatim dengan berbagaimana pengamanan dan pemeliharaan. Untuk itu dia memerintahkan sang wali agar terlebih dahulu menguji kemampuan penggunaan harta anak yatim, sebelum hartanya diserahkan kepadanya. Kemudian, Allah melarang sang wali memakan sesuatu dari harta anak yatim dengan cara berlebih-lebihan dan mumpung anak yatim masih kecil. Allah juga memerintahkan sanga wali agar mengadakan saksi ketika serah terima, dan meperingatkan di akhir ayat agar sang wali ingat akan pengawasan Allah terhadap segala gerak-gerik yang besipat pribadi.[14]
Sayyid kutub dalam kitab tafsitnya dari celah-celah nash ini tampaklah kecermatan didalam memperlakukan harta yang akan diterima anak yatim itu ketika  sudah tampak kesempurnaan pikirannya. Juga tampak betapa sipemelihara harus segera menyerahkan harta anak yatim itu kepada mereka hanya semata-mata karena telah tampak kesempurnaan pikirannya (setelah dewasa), menyerahkannya kepada mereka secara utuh, memeliharanya dengan baik ketika Masih merawatnya, dan buru-buru memakannya dengan berlebihan sebelum mereka dewasa. Disamping itu, sepemelihara juga harus menjaga diri jangan sampai memakannya sebagai imbalan pemeliharaannya, apabila siwali itu kaya dan ia membutuhkannya ia boleh memakan harta tersebut seminimal mungkin. Sipemelihra hendaklah mempersaksikannya ketika menyerahkan harta anak-anak yatim itu kepada pemiliknya. Ujung ayat memperingatkan adanya kesaksian dan penilaian Allah.[15]
KESIMPULAN
1.       keempat surat an-Nisa’ di atas menjelaskan kepada kita agar tidak menyerahka harta anak yatim yang belum sempurna akalnya (safih). Karena ia tidak dapat mengatur hartanya baik laki-laki maupu perempuan.
2.      Memberikan makanan dan pakaian kepada mereka dengan hasil hartanya, dan mengucapkan kata-kata yang baik, kata-kata yang halus, lemah lembut.
3.      Ayat yang kelima surat an-Nisa’ diatas juga menjelaskan menyerahkan harta anak yatim apabila ia sudaah baligh atau layak menikah dan sudah diketahui kelayakan atau cerdas memelihara harta mereka tanpa menunda-nunda.
4.      Larangan bagi wali (pemelihara anak yatim) menghamburkan-menghamburkan harta anak yatim
5.      Bagi wali yang mempunyai kelayakan hidup (kaya), agar tidak memakan harta anak yatim dan mengaambil upah atas perawataan anak yatim.
6.      Bagi wali yang kurang mampu (miskin) dibolehkan untuk memakan harta anak yatim dengan sekedar kebutuhannya yang mendesak dan upah atas perawatan, pemeliharaan anak yatim.
7.      Mengadakan saksi-saksi bagi anak-anak yatim setelah mereka baligh atau layak (cerdas)  jika waktu penyerahan harta kepada mereka supaya tidak jadi perselisihan dikemudian hari.
Daftar pustaka
Qutub, Sayyid, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Beirut: Dar Ahya’ Tarats al- ‘Araby, Jilid, V (1971).
Al- Maraghi , Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi,  jilid XXI, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, (2006)
Ad-Dimasqy, Abul Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, (Beirut: Darul al-Fikr, (1986).
Al-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Shafwat al-Tafasir, (al-Maktabah al-Tijariyyah Musthafa Ahmad al-Baz, Makkah al-Mukarramah, Jilid I.




[1], Sayyid Qutub, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Beirut: Dar Ahya’ Tarats al-‘Araby, Jilid, IV (1971), hal. 559

[2] Ahmad Musthafa Al- Maraghi, Tafsir al-Maraghi,  jilid XXI, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, (2006), hal. 154
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Sayyid Qutub, op, cit, hal. 559
[6] Muhammad ‘Ali Al-Shabuni,  Shafwat al-Tafasir, (al-Maktabah al-Tijariyyah Musthafa Ahmad al-Baz, Makkah al-Mukarramah, Jilid I, hal, 259       
[7] Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasqy, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, (Beirut: Darul al-Fikr, (1986), hal. 453

[8] Ibid
[9] Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Op., Cit, hal. 154
[10] Ibid, hal. 155
[11] Ibid
[12] Abul Fida Ismail Ibnu Katsir, Op, Cit, hal. 453
[13] Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Op., Cit, hal. 156
[14] Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Op., Cit, hal. 157
[15] Sayyid Qutub, op, cit, hal. 559

Tidak ada komentar:

Posting Komentar