PEMBAHASAN
Surat an-Nisa’ ayat 5-6
wur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# @yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ (#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym #sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷$$sù öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( wur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçy9õ3t 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uù=sù ( `tBur tb%x. #ZÉ)sù ö@ä.ù'uù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sÎ*sù öNçF÷èsùy öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkôr'sù öNÍkön=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7Å¡ym ÇÏÈ
Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik. Dan ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih
dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)
sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa
yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu).
A.
Munasabah ayat sebelum dan sesudah
Ayat diatas menceritakan
terhadap pernikahan anak-anak wanita
yatim dan lainnya, maka disini dibicarakan kembali tentang harta anak-anak
yatim, dijelaskan hukum-hukum dan teknis pengembalian dengan sebaik-baiknya. Adapun
anak-anak yatim pemilik harta yang belum sempurna akalnya, yang tidak dapat
mengatur dan mengembangkan hartanya dengan baik, maka hartanya itu tidak boleh
diserahkan kepada mereka. Mereka tidak berhak membelanjakan dan mempergunakan
sendiri, meskipun hak kepemilikan pribadi tidak terlepas dari mereka.[1]
B.
Ma’na Mufradat
As-Sufaha’: bentuk
tunggalnya safih artinya orang yang menyia-nyiakan harta dengan
mengimpakkan kepada hal-hal yang tidak semestinya dibeli (dikomsumsi). Asal
katanya as-Safah, artinya ringan dan gonjang. Berdasarkan pengertian
itu, dikatakan Zamanun Safih, apabila dalam zaman tersebut benyak
kengonjangan yag terjadi. Kemudian,
dikatakan Tsaubun Safih, artinya pakaian yang jelek tenunannya.
Kemudian, kata itu dipakai untuk pengertian kurangnya kecerdsasan akal didalam
mengatur (memanage) harta, dan makna inilah yang diamksud didalam ayat
ini.[2]
Qiyaman:
tulang punggung urusan penghidupan,dan yang mencegah kamu dari kefakiran, Ar-
raghib Al-Ashfahani mengatakan, “Lafaz Al-Qiwam, artinya sesuatu yang
menegakkan dan menetapkan, seperti hanya tiang dan sandaran, karena hal itu
dijadikan sebagai tiang penopang dan sandaran barang yang bertumpuk padanya.[3]
Warzuquhum
: Berikan mereka olehmu rezeki
Al-Qaulu’l-Ma;ruf
: perkataan yang enak yang dirasa oleh jiwa dan membuatnya jadi penurut.
Misalnya, menberikan pemahaman kepada orang yang belum bisa tasharruf,
bahwa harta itu adalah kepunyaannya, tidak ada seorang pun yang berkusasa
atasnya.
Anastum Minhum
Rusydam: Kalian melihat dalam diri mereka sudah mulai bisa mentasharrufkan
harta.
Al-Bidar:
bersegera dan cepat-cepat kepada sesuatu . dikatakan, Badartu ila syaiin wa
badartu ilaihi, artinya, aku bersegara padanya.
Fa `l-Yasta’fif:
henndaknya ia menjaga kehormatannya. Al-Iffah, adalah meninggalkan
keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidal layak dilakukan.
Al-hasib:
Yang mengawasi.[4]
C.
Penafsiran Ayat
wur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# @yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B
Kesempurnaan dan tidak
kesempurnaan akal itu akan tampak bila sudah dewasa. Urusan rusy kesempurnaan
akal` dan safah ketidak sempurnaan
akal itu biasanya tidak bisa disembunyikan, dan untuk menentukan batasan
pengertiaanya tidak memerlukan nash. Karena, suatu lingkungan itu dapat mengenal
siapa orang yang sempurna akalnya dan siapa yang tidak sempurna akalnya. Mereka
merasa mantap tentang kesempurnaan pikiran itu. Oleh karena itu, pengujian
terhadap anak yatim itu diklakukan untuk mengetahui kedewasaannya yang
diungkapkan oleh nash itu dengan kata; Nikah: yaitu suatu kondisi yang menjadi
kelayakan orang sudah dewasa.[5]
Muhammad Ali ash-Shabuni
dalam tafsirnya, janganlah kamu menyerahkan harta kepada anak-anak yatim yang
menyia-nyiakan harta mereka yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan bagi
raga dan kehidupan kamu, lalu mereka menyia-nyiakan harta itu. Ibnu Abbas
berkata, “As-sufaha’ yaitu anak-anak kecil dan wanita.” Menurut
Ath-Thabari, “janganlah kamu berikan kepada orang safih (lemah akalnya)
hartanya, karena dia tidak akan dapat mengatur hartanya, baik dia masih kecil
maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan.[6]
Sedangkan pandangan Ibnu
Katsir dalam ayat ini. Allah swt melarang memperkenankan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya melakukan Tasarruf (penggunaan)
harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali
mereka. Yakni para wali merekalah yanag
menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang
ataupun cara lainnya.[7]
Berangkat dari
pengertian ini disimpulkan bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya
dikenakan hijir (tidak boleh mentassarrufkan hartanya). Mereka yang di hijir ini ada beberapa
macam; adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab
perkataan seorang anak kecil tidak diangkap (dalam Mua’malah).
Adakalanya hijir disebabkan
penyakit gila. Adakalanya karena buruk dalam ber tasharruf, mengingat
akalnya kurang sempurna atau agamanya kurang. Adakalanya karena pailit . Yang
dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang laki meneggelamkan dirinya, dan
semua hartanya tidak dapat menutup utangnya itu. Untuk itu, apabila pemilik
piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng hijir nya, maka ia
terkena hijir (tidak boleh men tasharruf kan hartanya).[8]
.
wur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# @yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uÏ%
Khitab pembicaraan
ayat ini ditunjukkan kepada semua umat, dan larangannya mencakup setiap harta
yang diberikan kepada orang dungu. Artinya, berikalah setiap anak yatim harta
mereka apabila telah baligh, dan kepada setiap istri maharnya, kecuali apabila
salah satu dari mereka adalaah orang safih (dungu), tidak bisa
menggunakan harta benda . maka, cegahlah harta mereka agar jangan disia-siakan,
dan peliharalah harta mereka itu olehmu hingga mereka dewasa.[9]
Sesungguhnya, dalam ayat ini dikatakan amwalakum, dan tidak
memakai amwalahum. Sedangkan Mukhathab (orang yang diajak bicara)
adalah wali anak-anak yatim dan harta yang dimakan adalah harta orang-orang
dungu (safih), yang berada dalam asuhan mereka. Tujuannya ialah untuk
mengingatkan kita. Bahwa jika sang wali menyia-nyiakan harta mereka. Wajib bagi
sang wali menggantikannya dengan harta sendiri.
Jadi, seolah menyia-nyiakan harta anak yatim, sama saja dengan
menyia-nyiakan harta sendiri, dan seolah harta sendiri itu ialah sama dengan
harta anak yatim yang diasuhnya, ini juga mengingatkan, bahwa suatu umat itu,
individu-individunya saling membahu dalam kemaslahatan. Jadi, seolah masalah setiap
individu merupakan masalah bagi yang lainnya.[10]
öNèdqè%ãö$#ur $pkÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur
Pengertian
Ar-Rizqu disini mencakup semua segi pembelanjaan, seperti makan, tempat
tinggal, kawin, pakaian (al-Kiswahh), yang kebanyakan orang-orang kadang
meremehkan masalah pakaian ini. Dikatakan pula (Fihi) bukannya (Minha),
sebagai isyarat yang menunjukkan bahwa harta yaang diambil sebagai objek rezeki
itu dengaan cara mengembangkannya melalui perniagaan, kemudian nafkah yang
diberikan kepada mereka (anak-anak yatim) adalah dari keuntungan perniagaan
tersebut, bukan dari modal. Sebab, jika demikian, harta mereka otomatis akan
habis dimakan. Artinya, wahai para wali yang telah dipercayakan kepada kalian
memelihahra harta benda orang-orang safih dan yang mengembangkannya
seolah harta mereka adalah harta kalian sendiri. Kalian harus memnberikan
nafkah kepada mereka. Untuk itu, kalian harus menyediakan kebutuhan mereka yana
menyangkut makanan, pakaian, dan lain sebagainya.
(#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B
Hendaknya setiap wali
menasehati orang yang diasuhnya apabila ia masih kecil, ini adalah hartamu, aku
hanyalah sebaagai penyimpanan. Jika kamu sudah besar, harta inni akan ku
kembalikan padamu. Tetapi, jika yanng diasuhnya orang safih, hendaknya
sang wali memberikan petuah dan nasehat padanya agar tidak menyia-nyiakan harta
dan boros. Kemudian, berilah ia pengertian,bahwa akibat dari pemboroasan itu
adalah kemiskinan, butuh pertolongan orang lain, dan sebagainya. Wali juga
berkewajiban mengajari hal-hal yang bisa mengantarkannya kedewasaan. Dengan
cara demikian, kondisinya akan lebih membaik, dan kemungkinan, sifat safih
dirinya hanya sementara, bukan pembawaan dari lahir. Hanya dengan menasehati,
membimgbing dan mengarahkan, sifat safih itu lambat laun akan hilang,
dan ia akan tumbuh menjadi seorang dewasa.
Tetapi, mana
pengamalan-pengamalan ketentuan tersebut? Kebanyakan orang yang diwasiati dan para wali senang memakan harta
orang-orang safih asuhannnya. Mereka, sengaja menunda-nunda waktu agar
para asuhannya tetap safih dan beruapaya menghalang-halangi hal-hal yang
sekiranya dapat menjadikan mereka dewasa. Tujuan utama mereka, tidak lain ingin
tetap mencengkeram harta anak-anak yatim, orang-orang safih, dan
bersenang-senang dengannya, mereka mempergunakan harta tersebut menurut
keinginan dan hawa nafsunya.[11]
Ibnu Katsir dalam
tafsirnya Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “janganlah kamu berniat terhadap
hartamu dan apa yang diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu
hal kamu berikan hal itu kepada istrimu atau anak perempuan, lalu kamu hanya
menunggu dari pemberian apa yang ada ditangan mereka. Tapi penganglah hartamu
dan berbuat kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu
orang yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka.[12]
Setelah memerintahkan
mereka agar memberikan anak-anak yatim, harta mereka secara global, kemudian
berikut ini Allah menjelaskan secara rinci cara memberikan harta tersebut
kepada mereka, Firman Allah swt:
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym #sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷$$sù öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr&
Menguji anak yatim itu
dengan cara memberi sedikit harta untuk digunakan sendiri. Apabila ia mempergunakannya
dengan baik, berarti ia sudah dewasa. Karena yanag dimaksud deasa disini ialah
apabila ia telah mengerti dengan baik cara menggunakan harta benda dan
membelanjakannya. Hal itu suatu pertanda ia berakal sehat dan berpikir dengan
baik.
Yang dimaksud dengan
mencapai nikah ialah jika umur anak telah mencapai batas siap menikah, yakni
ketika mancapai umur baligh. Dalam usia tersebut jiwa seseorang cendrung ingin
membangun rumah tangga, menjadi seoraang suami dan ayah bagi anak-anaknya
kelak.dan keinginin takkan terealisasikan kecuali dengan harta. Karena itulah,
memberikan harta kepadanya yang memang hak hukumnya wajib, kecuali jika sang
anak yatim itu safih, sekalipun ia telah mencapai umur baligh dan
dikhawatirkan akan menyia-nyiakan harta miliknya.
Makna
ayat: wahai para wali, ujilah oleh kalian anak-anak yatim yang ada dalam pemeliharaanmu
sampai mereka mencapai umur baligh, yakni ketika mereka sudah pantas membina
rumah tangga (baligh). Jika kalian merasakan dalam diri mereka terdapat tanda-tanda
kedewasaan, berikanlah harta mereka. Jika tidak, ujilah terus hingga mereka benar-benar dewasa.
Imam Abu Hanifah
berpendapat, bahwa memberikan harta anak yatim ialah jika mereka telah mencapai
umur duapuluh lima tahun, sekalipun belum tampak dewasa (cara berpikirnya).[13]
wur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçy9õ3t 4
Jangan kamu memakan
harta anak-anak yatim dengan cara berlebih-lebihan dalam membelanjakannya,
sekalipun hal itu kamu tunjukkan kepada anak yatim sendiri. Jangan pula kamu
tergesa-gesa menyusul kedewasaan mereka dalam mempergunakan harta tersebut.
Dengan kata lain, jangan kamu mendahului kedewasaan umur tatkala mereka
mengambil harta tersebut dari tanganmu; orang yang paling dahulu diantara kamu
dan mereka, dialah yang beruntung mendapatkannya. Sebagian wali yang rusak
(tidak memperhatikan) tanggungannya terburu-buru menggasak harta anak yatim
dengan membelanjakannya untuk manfaat tertentu, sedangkan anak yatim tidak
mendapatkan bagian. Tujuan mereka agar tidak menyia-nyiakan kesempatan ini,
mumpung anak-anak yatim belum dewasa dan mengambil harta dari tangannya.
Mengingat perlakuan
tersebut, yaitu berlebih-labihan dalam membelanjakan dan mendahului kedewasaan
anak yatim dengan melangkahi hak-hak mereka dimasa mendatang, yaitu dengan
mempergunakannya untuk kemanfaatan dirinya, perbuatan-perbuatan itu merupakan
titik kelemahan yang selalu mengaancam manusia pengemban tugas ini. Oleh karena
itu, Allah melarang kedua perbuatan
tersebut, dan mengingatkan para wali akan bahaya kedua perbuatan tersebut, agar
mereka selalu ingat bahwa Allah senantiasa mengawasi gerak-gerik mereka
manakala godaan itu melanda dirinya.
Terkadang, seseorang
berpura-pura tidak mengerti tentang batasan berlebih-lebihan, dan mendahului
harta anak yatim dengan menpergunakannya denga tujuan pribadi. Tega ia memakai
cara itu, jika mereka tidak menipu dengan terus terang, ketika tampak jelas
akan berkhianat.
Mengenai makanan harta
anak yatim tanpa berlebih-lebihan dan bukan karena khawatir akan diambilnya
apabila ia mencapai umur baligh, hal itu jelas dijelaskan oleh Allah melalui
firman-Nya:
`tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uù=sù ( `tBur tb%x. #ZÉ)sù ö@ä.ù'uù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/
Barang siapa diantara
kalian berkecukupan sehingga tidak membutuhkan sesuatu pun dari harta anak
yatim yang berada dalam kekuasaanya, hendaknya mencegah diri dari memakan harta
tersebuta. Dan barangsiapa miskin hingga terpaksa menggunakan harta anak yatim yang
telah menyita sebahagian waktunya guna mengembangkan dan memeliharanya,
hendaknya ia memakan dari harta itu dengan cara yang baik, cara yang baik
maksudnya, sesuai denga ketentuan syara’ dan tidak diingkari oleh orang-orng
yang mempunyai harga diri. Juga bukan termasuk suatu penghianatan dan
ketamakan.
#sÎ*sù öNçF÷èsùy öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkôr'sù öNÍkön=tæ
Jika kamu, wahai
para wali, dan orang-orang yang diberi wasiat menyerahkan harta yang dititipkan
kepada kalian kepadaa anak-anak yatim, maka adakanlah kesaksian dalam serah
terima dan pembebasan tanggunganmu atas harta tersebut, agar kelak tidak
terjadi persengketaan diantara kalian yang bersangkutan.
Kesaksian itu,
menurut mazhab Imam Syafi’i dan Maliki, hukumnya wajib. Sebab, mengaibaikan hal
itu berarti akan membuka pintu persengketaan dan peradilan seperti banyak kita
saksikan. Tetapi, mazhab Hanifah berpendapat hanya sunnah saja, bukan wajib.
4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7Å¡ym
Cukuplah Allah sebagai pengawas kalian. Dialah yang akan menghisab
hal-hal yang tersimpan dalam diri kalian dan hal-hal yang kalian tampakkan.
Ayat itu diturunkan diturunkan sesudah ada perintah mengadakan kesaksian yang
disebutkan ayat sebelumnya. Tujuannya ialah, untuk memeberikan pengertian
kepada kita, bahwa kesaksian itu,
sekalipun dapat mengugurkan dakwaan yang menyangkut harta anak yatim
dihadapan sang Qadhi, tetapi hal itu tidak bisa menggugurkan hak yang
sebenarnya dihadapan Allah, apabila ternyata sang wali berbuat khianat. Sebab,
sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dalam diri para
saksi dan para hakim.
Pada prinsipnya, Allah swt, sebagaimana yang telah anda ketahui,
meliputi harta anak yatim dengan berbagaimana pengamanan dan pemeliharaan.
Untuk itu dia memerintahkan sang wali agar terlebih dahulu menguji kemampuan
penggunaan harta anak yatim, sebelum hartanya diserahkan kepadanya. Kemudian,
Allah melarang sang wali memakan sesuatu dari harta anak yatim dengan cara
berlebih-lebihan dan mumpung anak yatim masih kecil. Allah juga memerintahkan
sanga wali agar mengadakan saksi ketika serah terima, dan meperingatkan di
akhir ayat agar sang wali ingat akan pengawasan Allah terhadap segala
gerak-gerik yang besipat pribadi.[14]
Sayyid kutub dalam kitab tafsitnya dari celah-celah nash ini
tampaklah kecermatan didalam memperlakukan harta yang akan diterima anak yatim
itu ketika sudah tampak kesempurnaan
pikirannya. Juga tampak betapa sipemelihara harus segera menyerahkan harta anak
yatim itu kepada mereka hanya semata-mata karena telah tampak kesempurnaan
pikirannya (setelah dewasa), menyerahkannya kepada mereka secara utuh,
memeliharanya dengan baik ketika Masih merawatnya, dan buru-buru memakannya
dengan berlebihan sebelum mereka dewasa. Disamping itu, sepemelihara juga harus
menjaga diri jangan sampai memakannya sebagai imbalan pemeliharaannya, apabila
siwali itu kaya dan ia membutuhkannya ia boleh memakan harta tersebut seminimal
mungkin. Sipemelihra hendaklah mempersaksikannya ketika menyerahkan harta
anak-anak yatim itu kepada pemiliknya. Ujung ayat memperingatkan adanya
kesaksian dan penilaian Allah.[15]
KESIMPULAN
1.
keempat surat an-Nisa’ di atas menjelaskan
kepada kita agar tidak menyerahka harta anak yatim yang belum sempurna akalnya (safih).
Karena ia tidak dapat mengatur hartanya baik laki-laki maupu perempuan.
2.
Memberikan
makanan dan pakaian kepada mereka dengan hasil hartanya, dan mengucapkan
kata-kata yang baik, kata-kata yang halus, lemah lembut.
3.
Ayat
yang kelima surat an-Nisa’ diatas juga menjelaskan menyerahkan harta anak yatim
apabila ia sudaah baligh atau layak menikah dan sudah diketahui kelayakan atau
cerdas memelihara harta mereka tanpa menunda-nunda.
4.
Larangan
bagi wali (pemelihara anak yatim) menghamburkan-menghamburkan harta anak yatim
5.
Bagi
wali yang mempunyai kelayakan hidup (kaya), agar tidak memakan harta anak yatim
dan mengaambil upah atas perawataan anak yatim.
6.
Bagi
wali yang kurang mampu (miskin) dibolehkan untuk memakan harta anak yatim
dengan sekedar kebutuhannya yang mendesak dan upah atas perawatan, pemeliharaan
anak yatim.
7.
Mengadakan
saksi-saksi bagi anak-anak yatim setelah mereka baligh atau layak (cerdas) jika waktu penyerahan harta kepada mereka
supaya tidak jadi perselisihan dikemudian hari.
Daftar pustaka
Qutub, Sayyid, Tafsir
fi Zhilal al-Qur’an, Beirut: Dar Ahya’ Tarats al- ‘Araby, Jilid, V (1971).
Al- Maraghi , Ahmad
Musthafa, Tafsir al-Maraghi,
jilid XXI, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, (2006)
Ad-Dimasqy, Abul
Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, (Beirut: Darul
al-Fikr, (1986).
Al-Shabuni, Muhammad
‘Ali, Shafwat al-Tafasir, (al-Maktabah al-Tijariyyah Musthafa Ahmad
al-Baz, Makkah al-Mukarramah, Jilid I.
[1], Sayyid
Qutub, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Beirut: Dar Ahya’ Tarats al-‘Araby,
Jilid, IV (1971), hal. 559
[2]
Ahmad
Musthafa Al- Maraghi, Tafsir al-Maraghi,
jilid XXI, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, (2006), hal. 154
[3]
Ibid
[4]
Ibid
[5]
Sayyid Qutub, op, cit, hal. 559
[6]
Muhammad
‘Ali Al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, (al-Maktabah
al-Tijariyyah Musthafa Ahmad al-Baz, Makkah al-Mukarramah, Jilid I, hal, 259
[7]
Abul
Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasqy, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I,
(Beirut: Darul al-Fikr, (1986), hal. 453
[8]
Ibid
[9]
Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Op., Cit, hal. 154
[10]
Ibid, hal. 155
[11]
Ibid
[12]
Abul
Fida Ismail Ibnu Katsir, Op, Cit, hal. 453
[13]
Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Op., Cit, hal. 156
[14]
Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Op., Cit, hal. 157
[15]
Sayyid Qutub, op, cit, hal. 559
Tidak ada komentar:
Posting Komentar