HAKIKAT DAN MAJAZ
A. Majaz Lughawi
a.
Ibnu ‘Amid berkata:
قامت
تظللنى من الشمس .نفس احب الي من نفسى
قامت
تظللنى ومن عجب.شمس تظللنى من الشمس
Telah berdiri menaungiku dari teriknya
matahari, seseorang yang aku cintai dari pada diriku sendiri. Ia telah menaungiku,
amatlah mengherankan, bila ada matahari menaungiku dari terik matahari.[1]
b. Pembahasan
Perhatikan baris terakhir dari dua bait
pertama, maka akan kita jumpai kata asy-syamsu yang dipakai dua makna,
pertama dalah makna hakiki sebagaimana yang kita kenal, dan makna yang kedua
adalah orang yang bercahaya wajahnya, yang menyerupai kecerlangan matahari.
Makna yang kedua ini adalah bukanlah makna hakiki. Bila kita perhatikan, maka
kita akan temukan kaitan antara makna yang pertama yang hakiki dan makna yang
kedua yang bukan hakiki. Kaitan dan hubungan kedua makna itu disebut dengan musyabahah (saling
menyerupai/keserupaan) karena seseorang yang becahaya wajahnya itu menyerupai
matahari dalam memancarkan cahaya, dan hal ini tidak mungkin menimbulkan ketidakjelasan
yang membawa pemahaman bahwa kata syamsun
tuzhlliluni adalah menunjukkan makna yabg hakiki karena matahari yang
hakiki itu tidaklah akan menaungi.
Dengan demikian, kata tuzhallilini menghalangi kemungkinan dikehendakinya makna
yang hakiki, dan oleh karenanya kata itu disebut sebagai karinah yang
menunjukkan bahwa makna yang dimaksud adlah makna yang lain.
c. Kaidah
Majaz lughawi adalah lafaz yang
digunakan dalam makna yang bukan seharusnya karena adanya hubungan disertai
dengan karinah yang menghalangi
pemberian makna hakiki. Hubungan antara makna hakiki dengan makna majazi itu
kadang-kadang karena adanya keserupaan dan kadang-kadang lain dari itu, dan karinah
itu adakalanya lafziyah dan haliyah.
d. Pembagian Majaz Lughawi
a. Isti’aarah Tashriihiyyah wal- Maknawiyyah
1. Contoh Allah berfirman:
!9# 4 ë=»tGÅ2 çm»oYø9tRr& y7øs9Î) ylÌ÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ÈbøÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuÅÀ ÍÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ
Artinya: Alif,
laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan
izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji.
2. Pembahasan
Dalam contoh diatas terdapat majaz lughawi,
yakni kata yang digunakan dalam makna yang bukan hakiki, yakni kata azh-Zhulumat
yang digunakan dengan makna kesesatan, dan kata an-Nuur yang digunakan
dengan makna hidayah dan iman. Hubungan antara makna hakiki dan makna majazi
adalah adanya keserupaan, dan karinah-nya adalah haliyah.
3. Kaidah
Isti’aarah adalah satu bagian dari majaz lughawi.
Isti’aarah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaf-nya.
Oleh karena itu, hubungan antara makna hakiki dan makan majazi adalah musyabahah
selamanya. isti’aarah ada dua macam, yaitu:
a.
Tashrihiyyah, yaitu Isti’aarah yang musyabbah bih yang
ditegaskan.
b.
Makniyyah, yaitu isti’aarah yang musyabbah
bih-nya sebagai isyarat ditetapkan salah satu sipat khasnya.
b. Pembagian Isti’aarah Ashliyyah dan Taba’iyyah
1. Al- Mutanabbi berkata dalam menyipati kalam:
يمج ظلاما في نهار لسانه ويفهم عمن قال ما ليس ما يسمع
Lidah pena itu meludahkan kegelapan disiang hari dan
ia paham apa-apa yang dikatakan sesorang tanpa melalui pendengaran.
2. Pembasan
Pada bait pertama terdapat isti’aarah tashriyyah dan makniyyah.
Pada bait pertama, pena (kata ganti pada lafaz lisanuhu) diserupakan dengan
manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan isyaratkan dengan salah satu
sipat khasnya, yaiyu lidah. Jadi isti’aarah tashrihiyyah. Kertas
diserupakan dengan siang hari karena sama-sama putih, lalu lafaz yang menjadi musyabbah
bih dipinjam sebagai musyabbah untuk menjadi isti’aarah tashrihiriyyah.
3. Kaidah-Kaidah
a.
Isti’aarah disebut sebagai isti’aarah ashliyyah
apabila isim (kata benda) yang dijadikan Isti’aarah yang berupa isim Jamid,
b.
Isti’aarah disebut sebagai isti’aarah taba’iyyah
apabila lafaz yang dijadikan Isti’aarah berupa isim musytaq atau fi’il
kata kerja.
c.
Karinah pada Isti’aarah taba’iyyah adalah makniyyah,
namun bila Isti’aarah taba’iyyah ini diberlakukan pada salah satu dari
keduannya, maka tidak dapat dibuat pada yang lainnya.
c. Pembagian Isti’aarah kepada Murasysyahah, Mujarradah dan Muthalaqah
1. Contoh Firman Allah:
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#ãrutIô©$# s's#»n=Ò9$# 3yßgø9$$Î/ $yJsù Mpt¿2u öNßgè?t»pgÏkB $tBur (#qçR%x. úïÏtGôgãB
Artinya: Mereka Itulah
orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, Maka tidaklah beruntung
perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
2. Pembahasan
Pada contoh ini terdapat isti’aarah tashrihiyyah yakni lafaz isytaru
bermakna ikhtaaruu (memilih), lafaz qamar dengan maksud orang
yang dipuji, dan lafaz thagaa bermakna bertambah atau naik. Dan
masing-masing isti’aarah memiliki karinah , karinah isytarau adalah
lafaz adh-dhalaalataa, karinah lafaz qamar adalah yu’adduna
at-tahiyya, dan karinah thagaa adalah lafaz al-Maa’.
Bila kita perhatikan isti’aarah pertama, maka akan kita temukan
kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih yang menjadi Isti’aarah ,
dan kata-kata itu adalah famaa rabihat tijaratuhum.
3. Kaidah-Kaidah
a. Isti’aarah Murasysyahah adalah Isti’aarah yang
disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih.
b. Isti’aarah Mujarradah adalah Isti’aarah yang disertai penyebutan
kata-kata yang relevan dangan musyabbah.
c. Isti’aarah muthlaqah adalah isti’aarah yang tidak diserrtai penyebutan kata-kata yang relevan dengan Musyabbah bih
maupun Musyabbah.
d. Suatu isti’aarah tidak dapat diklasifikasikan kedalam isti’aarah
Murasysyahah maupun Isti’aarah mujarradah sebelum sempurna disebut karinah
nya, baik lafhziyyah maupun haliyah, oleh karena itu, karinah tashrihiyyah
tidak dapat disebut sebagai cirri isti’aarah mujarradah, dan karinah Isti’aarah
makniyyah tidak dapat dijadikan sebagai cirri isti’aarah Murasysyahah.
d. Isti’aarah Tamtsiliyah
1. Contoh:
عا
د السيف الى قرابه وحل الليث منيع غابه
Pedang itu telah kkembalo kesarungnya dan
singa itu menempati sarangnya di hutan. (Bagi seorang Mujahid yang kembali ke negaranya
setelah bepergian).
2. Pembahasan
Ketika seorang laki-laki yang habis bekerja
pulang ke Negaranya, maka ia bukanlah pedang hakiki yang kembali kesarungnya
dan bukan singa hakiki yang menempati kembali sarangnya. Dengan demikian kedua
susuanan kalimat itu tidak dipergunakan dalam arti yang hakikat, sehingga kedua
kalimat itu adalah majaz, karinahnya adalah haliyah. Hubungan antara
kedua makna, hakiki dan majaznya, adalah musyabbah (keserupaan) karena keadaan
orang yaan pergijauh dari Negaranya untuk bekerja keras dan kemabalinya
kenegaranya setelh lama berusaha payah diserupakan dengan pedang yang terhunus
dari sarungnya untuk berperang dan setelah mendapatkan kemenangan, ia akan
kembali kesaarungnya. Demikian pula singa yang kembali ke sarangnya.
3. Kaidah-Kaidah
Isti’aarah tamtsyiliyah adalah suatu susunan kalimat yang digunkan
yang bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna asli
dan makna majazinya) disertai adanya karinah yang menghalangi pemahaman
terhadap kalimat tersebut dengan makna yang asli.
e. Nilai Isti’aarah dalam Balagah
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai tasybih dalam balagah terdapat
pada dua segi, yaitu pada penyusunan kata-katanya dan pada pembuatan musyabbah bih yang
jauh dari jangkuan hati kecuali orang yang berjiwa seni, yang dianugerahi Allah
dengan bakat sastra yang normal untuk mengenal aspek-aspek keserupaan beberapa
hal secara detail, dan dikarunai-Nya kemampuan untuk merangkai beberapa makna dan
mencabang-cabangkannya hingga hampur tak terbatas.
Sedangngkan rahasia Isti’aarah
dalam balagah tidak lebih dari kedua segi itu. Nilai Isti’aarah dari
segi lafaznya bahwa susunan kalimatnya seakan-akan tidak mengindahkan
tasybih, namun mengharuskan kita untuk menghayalkan suatu gambaran yang
keindahannya memalingkan kita dari kandungan kalimat berupa tasybih yang
terselubung.
f.
Majaz Mursal
1.
Al- Mutanabbi berkata:
له
اياد سابغه اعد منها ولااعددها
Ia mempunyai tanan-tangan yang berlimpah
padaku, dan diriku ini merupakan bagian darinya, dan aku tidak kuasa
menghitungnya.
2. Pembahasan
Telah kita ketahui bahwa isti’aarah
termasuk majaz lughawi dan bahwa isti’aarah itu adalah kata yang
digunakan bukan untuk makna yang asali
karena adanya hubungan keserupaaan antara kedua makna tersebut, yakni makna
asli dan makna majazi. Selanjutnya kita perhatikan dn kita bahas majaz yang terkandung didalamnya.
Perhatikan kata ayaad dalam syair
al- Mutanabbi. Apakah anda berangggapan bahwa ia menghendaki makananya yang hakiki, yaitu
tangan-tangan yang sesungguhnya, yang ia kehendaki adalah kenikmatan-kenikmatan
yang banyak. Jadi kata ayaad dalam ungkapan ini adalah majaz. Akan tetapi
apakah anda melihat adanya hubungan keserupaan tangan dengan kenikmatan , tentu
saja tidak. Kalau demikian, apa hubungan antara kedua makna tersebut,
sedaangkan orang arab tidak akan mengucapkan suatu kata untuk makna yan lain
kecuali bilah telah nyata adanya kaitan dan hubungan antara makananya yang asli
dan makna majazi, ketahuilah bahwa tangan hakiki adalah alat untuk menyampaikan
beberpa kenikmatan . jadi tagan itu merupakan sebab bagi kenikmatan tersebut.
Oleh karena itu, hubungannya adalah as-Sababiyah, dan hal ini banyak
digunakan dalam bahasa Arab.
3. Kaidah-kaidah
a. Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan untuk maknanya yang asli
karrena adanya hubungan yang selaain keserupaan serta ada karinah yang
menghalangi pemahaman dan makna yang asli.
b. Hubungan makna yang asli dengan makna yang majazi dalam majaz mursal
adalah: as- Sababiyyah, al- Musabbabiyyah, al- Juz-iyyah, al- kulliyyah,
I’tabaaru maa kaana, I’tibaaru maa yakunuu. Al- mahalliyyah, al- Haaliyyah.
B. Majaz Aqli
a. Al- Mutanabbi berkata dalam menyipati
Raja Romawi setelah dipukul mundur oleh
Saifud-Daulah:
ويمشى به العكاز فى الدير تائبا
وقد كان يأبى مشي أشقراجردا
Tongkat yang bermata lembing itu
berjalan-jalan dirumah pendeta bersamanya untuk bertobat, padahala semula
ia tidak rela melihat larinay kuda
blonde yang pendek bulunya.
-Amr bin Ash membangun kota Fushtahath (mesir kuno).
-Siangnya Zahid berpuasa dan malamnya berdiri (salat)
-Jalan-jalan kairo berdesakan
b. Pembahasan
Perhatikan dua contoh pertama, pada masing-masing
contoh itu terdapat fi’il (kata kerja) yang disandarkan tidak kepada fa’il
(pelakunya), yakni yamsyii (berjalan) disandarkan kepada al-Ukkaazu
(tongkat bermata lembing) karrena tongkat itu tidak dapat berjalan, dan
yabnii (membangun) disanadarkan kepada ‘Amr bi Ash sevagai gubernur tidk
mungkin ikut menbangun secara langsung,
yang membangun adalah para pekerjanya, akan tetapi karena tongat itu sebab
berjalan dan ‘Amr bin Ash menjadi sebeb membangun, maka fi’il itu
disandarkan kepada keduanya.
Kemudian pada contoh kedua, puasa
disandarkan kepada siang (bukan kepada zahid sebagai pelakunya), bediri sholat
disandarkan kepada malam, dan berdesak-desakan (padat) disandarkan kepada jalan
raya, padahal siang itu idak berpuasa, yang berpuasa adalah orang yang hidup di
siang hari itu. Malam juga idak berdiri, yang berdiri adalah orang yang sholat
malam itu. Jalan-jalan raya itu juga tidak berdesakan , yang berdesak-desak itu
adalah orang yang berjalan atau kendaraan yang lewat dijalan itu. Jadi pada contoh
ini, fi’il atau yang serupa dengannya disandarkan kepada kata yang bukan
pada tempat sandaran yang sebenarnya. Faktor
yang memperbolehkan penyandaran demikian adalah karena musnad ilaih (sesuatu yang menjadi sandaran) pada contoh
tersebut merupakan waktu atau berlangsungnya suatu pekerjaaan.
c. Kaidah-Kaidah
a.
Majaz aqli adalah penyandaran fi’il
atau kata yang menyerupainya kepada temapat penyandaran yang tidak sebenaranya
kepada tempat penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan
disertai karinah yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaraan yang
hakiki.
b.
Penyandaran majazi adalah penyandaran kepad
sebab fi’il, tempat fi’il, atau masdarnya, atau penyandaraan isim
mabnii fa’il kepada maf’ulnya, atau isim mabnii maf’ul kepada fa’il-nya.[2]
Daftar Pustaka
Al-jarim, Ali ,& Musthafa Amin,
Terjemahan al- balaghatul waadhihah, judul asli: al-Balaghatul
Waadihihah, penerjemah: Mujiyo
Nurkholis, dkk, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar