Kamis, 07 Januari 2016

balaghah hakikat dan majaz



HAKIKAT DAN MAJAZ
A.  Majaz Lughawi
a.      Ibnu ‘Amid berkata:

قامت تظللنى من الشمس .نفس احب الي من نفسى
قامت تظللنى ومن عجب.شمس تظللنى من الشمس
Telah berdiri menaungiku dari teriknya matahari, seseorang yang aku cintai dari pada diriku sendiri. Ia telah menaungiku, amatlah mengherankan, bila ada matahari menaungiku dari terik matahari.[1]

b.      Pembahasan
Perhatikan baris terakhir dari dua bait pertama, maka akan kita jumpai kata asy-syamsu yang dipakai dua makna, pertama dalah makna hakiki sebagaimana yang kita kenal, dan makna yang kedua adalah orang yang bercahaya wajahnya, yang menyerupai kecerlangan matahari. Makna yang kedua ini adalah bukanlah makna hakiki. Bila kita perhatikan, maka kita akan temukan kaitan antara makna yang pertama yang hakiki dan makna yang kedua yang bukan hakiki. Kaitan dan hubungan kedua makna itu  disebut dengan musyabahah (saling menyerupai/keserupaan) karena seseorang yang becahaya wajahnya itu menyerupai matahari dalam memancarkan cahaya, dan hal ini tidak mungkin menimbulkan ketidakjelasan yang membawa pemahaman  bahwa kata syamsun tuzhlliluni adalah menunjukkan makna yabg hakiki karena matahari yang hakiki itu tidaklah akan menaungi.  Dengan demikian, kata tuzhallilini  menghalangi kemungkinan dikehendakinya makna yang hakiki, dan oleh karenanya kata itu disebut sebagai karinah yang menunjukkan bahwa makna yang dimaksud adlah makna yang lain.

c.       Kaidah
Majaz lughawi adalah lafaz yang digunakan dalam makna yang bukan seharusnya karena adanya hubungan disertai dengan karinah  yang menghalangi pemberian makna hakiki. Hubungan antara makna hakiki dengan makna majazi itu kadang-kadang karena adanya keserupaan dan kadang-kadang lain dari itu, dan karinah itu adakalanya lafziyah dan haliyah.

d.      Pembagian Majaz Lughawi
a.      Isti’aarah Tashriihiyyah wal- Maknawiyyah
1.      Contoh Allah berfirman:
!9# 4 ë=»tGÅ2 çm»oYø9tRr& y7øs9Î) yl̍÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ÈbøŒÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuŽÅÀ ̓Íyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ  

Artinya:  Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.

2.      Pembahasan
Dalam contoh diatas terdapat majaz lughawi, yakni kata yang digunakan dalam makna yang bukan hakiki, yakni kata azh-Zhulumat yang digunakan dengan makna kesesatan, dan kata an-Nuur yang digunakan dengan makna hidayah dan iman. Hubungan antara makna hakiki dan makna majazi adalah adanya keserupaan, dan karinah-nya adalah haliyah.

3.      Kaidah
Isti’aarah adalah satu bagian dari majaz lughawi. Isti’aarah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaf-nya. Oleh karena itu, hubungan antara makna hakiki dan makan majazi adalah musyabahah selamanya. isti’aarah ada dua macam, yaitu:
a.          Tashrihiyyah, yaitu Isti’aarah yang musyabbah bih yang ditegaskan.
b.         Makniyyah, yaitu isti’aarah yang musyabbah bih-nya sebagai isyarat ditetapkan salah satu sipat khasnya.
b.      Pembagian Isti’aarah Ashliyyah dan Taba’iyyah
1.      Al- Mutanabbi berkata dalam menyipati kalam:
 يمج ظلاما في نهار لسانه      ويفهم عمن قال ما ليس ما يسمع
Lidah pena itu meludahkan kegelapan disiang hari dan ia paham apa-apa yang dikatakan sesorang tanpa melalui pendengaran.
2.      Pembasan
Pada bait pertama terdapat isti’aarah tashriyyah dan makniyyah. Pada bait pertama, pena (kata ganti pada lafaz lisanuhu) diserupakan dengan manusia, lalu musyabbah bih-nya dibuang dan isyaratkan dengan salah satu sipat khasnya, yaiyu lidah. Jadi isti’aarah tashrihiyyah. Kertas diserupakan dengan siang hari karena sama-sama putih, lalu lafaz yang menjadi musyabbah bih dipinjam sebagai musyabbah untuk menjadi isti’aarah tashrihiriyyah.

3.      Kaidah-Kaidah
a.       Isti’aarah disebut sebagai isti’aarah ashliyyah apabila isim (kata benda) yang dijadikan Isti’aarah yang berupa isim Jamid,
b.      Isti’aarah disebut sebagai isti’aarah taba’iyyah apabila lafaz yang dijadikan Isti’aarah berupa isim musytaq atau fi’il kata kerja.
c.       Karinah pada Isti’aarah taba’iyyah adalah makniyyah, namun bila Isti’aarah taba’iyyah ini diberlakukan pada salah satu dari keduannya, maka tidak dapat dibuat pada yang lainnya.

c.       Pembagian Isti’aarah kepada Murasysyahah, Mujarradah dan Muthalaqah
1.      Contoh Firman Allah:
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#ãruŽtIô©$# s's#»n=žÒ9$# 3yßgø9$$Î/ $yJsù Mpt¿2u öNßgè?t»pgÏkB $tBur (#qçR%x. šúïÏtGôgãB 
Artinya: Mereka Itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.

2.      Pembahasan
Pada contoh ini terdapat isti’aarah tashrihiyyah yakni lafaz isytaru bermakna ikhtaaruu (memilih), lafaz qamar dengan maksud orang yang dipuji, dan lafaz thagaa bermakna bertambah atau naik. Dan masing-masing isti’aarah memiliki karinah , karinah isytarau adalah lafaz adh-dhalaalataa, karinah lafaz qamar adalah yu’adduna at-tahiyya, dan karinah thagaa adalah lafaz al-Maa’.
Bila kita perhatikan isti’aarah pertama, maka akan kita temukan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih yang menjadi Isti’aarah , dan kata-kata itu adalah famaa rabihat tijaratuhum.

3.      Kaidah-Kaidah
a.       Isti’aarah Murasysyahah adalah Isti’aarah yang disertai  penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih.
b.      Isti’aarah Mujarradah adalah Isti’aarah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dangan musyabbah.
c.       Isti’aarah muthlaqah adalah isti’aarah yang  tidak diserrtai penyebutan kata-kata  yang relevan dengan Musyabbah bih maupun Musyabbah.
d.      Suatu isti’aarah tidak dapat diklasifikasikan kedalam isti’aarah Murasysyahah maupun Isti’aarah mujarradah sebelum sempurna disebut karinah nya, baik lafhziyyah maupun haliyah, oleh karena itu, karinah tashrihiyyah tidak dapat disebut sebagai cirri isti’aarah mujarradah, dan karinah Isti’aarah makniyyah tidak dapat dijadikan sebagai cirri isti’aarah Murasysyahah.

d.      Isti’aarah Tamtsiliyah
1.      Contoh:
عا د السيف الى قرابه   وحل الليث منيع غابه
Pedang itu telah kkembalo kesarungnya dan singa itu menempati sarangnya di hutan. (Bagi seorang Mujahid yang kembali ke negaranya setelah bepergian).
2.      Pembahasan
Ketika seorang laki-laki yang habis bekerja pulang ke Negaranya, maka ia bukanlah pedang hakiki yang kembali kesarungnya dan bukan singa hakiki yang menempati kembali sarangnya. Dengan demikian kedua susuanan kalimat itu tidak dipergunakan dalam arti yang hakikat, sehingga kedua kalimat itu adalah majaz, karinahnya adalah haliyah. Hubungan antara kedua makna, hakiki dan majaznya, adalah musyabbah (keserupaan) karena keadaan orang yaan pergijauh dari Negaranya untuk bekerja keras dan kemabalinya kenegaranya setelh lama berusaha payah diserupakan dengan pedang yang terhunus dari sarungnya untuk berperang dan setelah mendapatkan kemenangan, ia akan kembali kesaarungnya. Demikian pula singa yang kembali ke sarangnya.

3.      Kaidah-Kaidah
Isti’aarah tamtsyiliyah adalah suatu susunan kalimat yang digunkan yang bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna asli dan makna majazinya) disertai adanya karinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan makna yang asli.

e.       Nilai Isti’aarah dalam Balagah
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai tasybih dalam balagah terdapat pada dua segi, yaitu pada penyusunan kata-katanya  dan pada pembuatan musyabbah bih yang jauh dari jangkuan hati kecuali orang yang berjiwa seni, yang dianugerahi Allah dengan bakat sastra yang normal untuk mengenal aspek-aspek keserupaan beberapa hal secara detail, dan dikarunai-Nya kemampuan untuk merangkai beberapa makna dan mencabang-cabangkannya hingga hampur tak terbatas.
            Sedangngkan rahasia Isti’aarah dalam balagah tidak lebih dari kedua segi itu. Nilai Isti’aarah dari segi lafaznya bahwa susunan kalimatnya seakan-akan tidak mengindahkan tasybih, namun mengharuskan kita untuk menghayalkan suatu gambaran yang keindahannya memalingkan kita dari kandungan kalimat berupa tasybih yang terselubung.

f.       Majaz Mursal
1.      Al- Mutanabbi berkata:
له اياد سابغه    اعد منها ولااعددها
Ia mempunyai tanan-tangan yang berlimpah padaku, dan diriku ini merupakan bagian darinya, dan aku tidak kuasa menghitungnya.
2.      Pembahasan
Telah kita ketahui bahwa isti’aarah termasuk majaz lughawi dan bahwa isti’aarah itu adalah kata yang digunakan bukan  untuk makna yang asali karena adanya hubungan keserupaaan antara kedua makna tersebut, yakni makna asli dan makna majazi. Selanjutnya kita perhatikan dn kita bahas  majaz yang terkandung didalamnya.
Perhatikan kata ayaad dalam syair al- Mutanabbi. Apakah anda berangggapan bahwa ia  menghendaki makananya yang hakiki, yaitu tangan-tangan yang sesungguhnya, yang ia kehendaki adalah kenikmatan-kenikmatan yang banyak. Jadi kata ayaad dalam ungkapan ini adalah majaz. Akan tetapi apakah anda melihat adanya hubungan keserupaan tangan dengan kenikmatan , tentu saja tidak. Kalau demikian, apa hubungan antara kedua makna tersebut, sedaangkan orang arab tidak akan mengucapkan suatu kata untuk makna yan lain kecuali bilah telah nyata adanya kaitan dan hubungan antara makananya yang asli dan makna majazi, ketahuilah bahwa tangan hakiki adalah alat untuk menyampaikan beberpa kenikmatan . jadi tagan itu merupakan sebab bagi kenikmatan tersebut. Oleh karena itu, hubungannya adalah as-Sababiyah, dan hal ini banyak digunakan dalam bahasa Arab.

3.      Kaidah-kaidah
a.       Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan untuk maknanya yang asli karrena adanya hubungan yang selaain keserupaan serta ada karinah yang menghalangi pemahaman dan makna yang asli.
b.      Hubungan makna yang asli dengan makna yang majazi dalam majaz mursal adalah: as- Sababiyyah, al- Musabbabiyyah, al- Juz-iyyah, al- kulliyyah, I’tabaaru maa kaana, I’tibaaru maa yakunuu. Al- mahalliyyah, al- Haaliyyah.

B. Majaz Aqli
a. Al- Mutanabbi berkata dalam menyipati Raja  Romawi setelah dipukul mundur oleh Saifud-Daulah:
ويمشى به العكاز فى الدير تائبا     وقد كان يأبى مشي أشقراجردا
Tongkat yang bermata lembing itu berjalan-jalan dirumah pendeta bersamanya untuk bertobat, padahala semula ia  tidak rela melihat larinay kuda blonde yang pendek bulunya.
-Amr bin Ash membangun kota Fushtahath (mesir kuno).
-Siangnya Zahid berpuasa dan malamnya berdiri (salat)
-Jalan-jalan kairo berdesakan

b.  Pembahasan
Perhatikan dua contoh pertama, pada masing-masing contoh itu terdapat fi’il (kata kerja) yang disandarkan tidak kepada fa’il (pelakunya), yakni yamsyii (berjalan) disandarkan kepada al-Ukkaazu (tongkat bermata lembing) karrena tongkat itu tidak dapat berjalan, dan yabnii (membangun) disanadarkan kepada ‘Amr bi Ash sevagai gubernur tidk mungkin ikut menbangun  secara langsung, yang membangun adalah para pekerjanya, akan tetapi karena tongat itu sebab berjalan dan ‘Amr bin Ash menjadi sebeb membangun, maka fi’il itu disandarkan kepada keduanya.
Kemudian pada contoh kedua, puasa disandarkan kepada siang (bukan kepada zahid sebagai pelakunya), bediri sholat disandarkan kepada malam, dan berdesak-desakan (padat) disandarkan kepada jalan raya, padahal siang itu idak berpuasa, yang berpuasa adalah orang yang hidup di siang hari itu. Malam juga idak berdiri, yang berdiri adalah orang yang sholat malam itu. Jalan-jalan raya itu juga tidak berdesakan , yang berdesak-desak itu adalah orang yang berjalan atau kendaraan yang lewat dijalan itu. Jadi pada contoh ini, fi’il atau yang serupa dengannya disandarkan kepada kata yang bukan pada  tempat sandaran yang sebenarnya. Faktor yang memperbolehkan penyandaran demikian adalah karena musnad ilaih  (sesuatu yang menjadi sandaran) pada contoh tersebut merupakan waktu atau berlangsungnya suatu pekerjaaan.

c.    Kaidah-Kaidah
a.         Majaz aqli adalah penyandaran fi’il atau kata yang menyerupainya kepada temapat penyandaran yang tidak sebenaranya kepada tempat penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan disertai karinah yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaraan yang hakiki.
b.         Penyandaran majazi adalah penyandaran kepad sebab fi’il, tempat fi’il, atau masdarnya, atau penyandaraan isim mabnii fa’il kepada maf’ulnya, atau isim mabnii maf’ul kepada fa’il-nya.[2]

Daftar Pustaka
Al-jarim, Ali ,& Musthafa Amin, Terjemahan al- balaghatul waadhihah, judul asli: al-Balaghatul Waadihihah, penerjemah:  Mujiyo Nurkholis, dkk, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994).


[1] Ali al-jarim & Musthafa Amin, Terjemahan al- balaghatul waadhihah, judul asli: al-Balaghatul Waadihihah, penerjemah:  Mujiyo Nurkholis, dkk, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet, kesepuluhm hal. 92
[2] Ibid, hal. 93-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar