IBNU SINA
A. Biografi Singkat Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina
adalah Abu ‘Ali al-Husain ibnu ‘Abd Allah ibn Hasan ‘Ali ibn Sina.[1] Beliau
di Barat populer dengan sebutan Avicenna.[2] Ibnu
Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia
pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.
Ibnu Sina sejak usia muda
telah menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti, matematika, logika, fisika,
kedokteran, astronomi, hukum dan lain-lainnya. Bahkan dalam usia sepuluh tahun
ia telah hafal al-Qur`an seluruhnya. Ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun, dengan
kejaniusannya yang sangat mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori
kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapa pun. Karena kemampuannya
ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini
terjadi ini terjadi katika ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibnu Manshur,
yang sebelumnya tidak seorang dokter mampu menyembuhkannya, dan berkat
keberhasilannya ia diberi kebebasan
belajar di perpustakaan istana (Kutub Khana). Ia juga pernah diangkat
menjadi menteri oleh Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan.[3]
Di antara guru yang
mendidiknya ialah Abu ‘Abd Allah al-Natili dan Isma’il sang Zahid. Karena
kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat menguasai semua ilmu yang
diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan melebihi sang guru.
Ibnu Sina secara tidak
langsung berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan
tentang gurunya ini, bahwa Ibnu Sina berhutang budi kepada al-Farabi karena telah
membantunya untuk keluar dari kesulitannya dalam memahami Metafisika
Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal diluar
kepala.
Ibnu Sina adalah pelanjut
filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis oleh al-Farabi dan dibukakan
pintunya oleh al-Kindi.[4]
Beliau juga termasuk salah seorang ilmuan terbesar setelah ar-Razi dalam bidang
kedokteran.
Nurcholish Majid
menyatakan bahwa di sinilah letaknya keberuntungan dunua Islam. Walaupun dari
segi politik dunia Islam boleh dikatakan telah porak poranda, akibat para
penguasa saling bersaing dan saling mengungguli, namun mereka tetap mendorong
dan saling melindungi kegiatan intelektual dan ilmiah. Oleh karena itu,
kegiatan seperti ini berkembang bagaikan cendawan di musim hujan.[5]
Atas keberhasilan Ibnu
Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat, sehingga dapat dinilai bahwa
filsafat ditangannya telah mencapai puncaknya dan karena prestasinya itu, ia
berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al-Syikh al-Ra’is
(Kyai Utama).[6]
Sebagai pemikir inovatif
dan kreatif yang umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa
dirinya. Ketika pustaka istana, Kutub Khana terbakar, ia dituduh
membakarnya supaya orang lain tidak dapat menguasai ilmu yang ada di sana.
Cobaan lain, bahwa ia pernah di penjarakan oleh putra al-Syams al-Dawlah, hanya
semata-mata kedengkian dan ketidak sengangannya. Setelah beberapa bulan, ia
dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut dengan amirnya
dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan diri hingga akhir
hayatnya.[7]
B. Karya-Karya Ibnu Sina
Ibnu Sina juga merupakan
salah seorang penulis yang luar biasa produktif sehingga ia tidak sedikit
meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya terhadap generasi
sesudahnya, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Di antara karya tulisnya
yang terpenting, sebagai berikut[8]:
1.
Al-Syifa’
Karya tulis ini membahas tentang filsafat yang
terdiri atas empat bagian, yaitu: Ketuhanan, fisika matematika dan logika.
2.
Al-Najat
Al-Najat berisikan ringkasan dari kitab al-Syifa’. Karya tulis ini
ditujukannya untuk kelompok pelajar yang ini mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah
secara lengkap.
3.
Al-Qanun Fi al-Thibb
Berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima
kitab dalam beragai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya.
4.
Al-Isyarat wa al-Tanbihat
Isinya mengandung uraian tentang logika dan
hikmah.
C. Filsafat Ibnu Sina[9]
1.
Al-Tawfiq (Rekonsiliasi)
antara Agama dan Filsafat
Menurut Ibnu Sina, Nabi
dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril
yang juga disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaanya hanya terletak
pada cara memperolehnya, bagi Nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril
melalui akal materil yang disebut hads (kekuatan suci, quddsiyyat),
sedangkan filosof melalui Akal Mustafad. Nabi memperoleh akal materil yang
dayanya jauh lebih kuat dari pada Akal Mustafad sebagi anugrah Tuhan kepada
orang pilihanNya. Sementara itu, filosof memperoleh Akal Mustafad yang dayanya
jauh lebih rendah. Pengatahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, berlainan
dengan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi
antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina memberikan
ketegasan tentang para Nabi dan para filosof. Mereka yang disebut pertama,
menurutnya adalah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain
untuk mengusahakan dirinya jadi Nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua
adalah menusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi
Nabi.
Pembagian manusia
dimajukan menjadi dua tingkatan, awam dan terpelajar, adalah hal yang biasa.
Namun didapatnya yang mengatakan kebenaran dalam bentuk wahyu ditujukan pada
tingkatan awam dan kebenaran dalam bentuk filsafat ditujukan pada tingkat
terpelajar agak meragukan, tetapi apabila yang dimaksud kebenaran dalam bentuk
wahyu secara eksplisit ditujukan pada tingkatan awam, maka dapat diterima.
Namun yang jelas, Ibnu Sina dalam mengharmoniskan filsafat dan agama juga
menggunakan takwil.
Dalam pandangan Ibnu Sina
para Nabi sangat diperlukan dalam kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal
ini disebabkan para Nabi dengan mukjizatnya dapat dibenarkan dan diikuti
manusia. Dengan kata lain, kebenaran yang disampaikan Nabi, seperti adanya
akhirat dan lain-lain, dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik secara
rasional maupun secara syar’i.
2.
Ketuhanan
Ibnu Sina dalam
membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalih wajib
al-wijud dan mumkin al-wijud mengesankan duplikat al-Farabi. Akan
tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi menjadi tiga
tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut:
a.
Wajib al-wujud
Esensi yang tidak dapat
tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa di pisahkan dari wujud,
keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada kemudian
berwujud, tetapi iawajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina
membagi wajib al-wujud ke dalam wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib
al-wujud bi ghairihi. Kategori yang pertama ialah yang wujudnya dengan
sebab zatnya semata, mustahil tidak diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua
adalah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar
zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk yang pertama (wajib al-wujud li dzatihi
la li syai’in akhar).
b.
Mumkin al-wujud
Esensi yang mempunyai
wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan
tidak ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-wujud ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti
ada dan tidak ada karenanya ia disebut dengan dengan mumkin al-wujud bi
dzatihii. Ia pun dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin
al-wujud bi dzatihi dan wajib al-wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mengcakup
semua yang ada.
c.
Mumtani’ al-wujud
Esensi yang tidak dapat
mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos
yang ada.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya
Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi dengan
dalil adanya wujud pertama, yakni wajib al-wujud. Jagad raya ini mumkin
al-wujud yang memerlukan sesuatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya
menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam
menetapkan yang pertama (Allah) kita tidak memerlukan memerlukan pada
perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian
wujudNya dengan salah satu makhlukNya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti
wujudNya, namun pembuktian dalil diatas lebih kuat, lebih lengkap dan sempurna.
Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan al-Qur’an dalam surat
al-Fussilat ayat 53 sebagai berikut:
óOÎgÎã\y $uZÏF»t#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKt öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3t y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky ÇÎÌÈ
“Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah
cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
3.
Jiwa
Keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa dalam
al-Quran dan hadis diistilahkan dengan al-nafs atau al-ruh. Jiwa
manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan,
memancar dari Akal Sepuluh. Secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang
jiwa terbagi pada dua bagian berikut:
a.
Fisika
Membicarakan
tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
1.
Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai
tiga daya, yaitu makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi, jiwapada
tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh dan berkembang biak
2.
Jiwa binatang mempunyai dua daya,
yaitu gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudrikat). Daya
yang terakhir ini terbagi menjadi dua bagian:
a.
Menangkap dari luar (al-mudrikat
min al-kharij) dengan panca indra.
b.
Menangkap dari dalam (al-mudrikat
min al-dakhil) dengan indra-indra batin (al-hawas al-bathinat), yang
terdiri atas lima indra berikut:
1.
Indra bersama (al-hiss
al-musytarak), yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh indra luar.
2.
Indra al-khaiyyal, yang
menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama.
3.
Imajinasi (al-mutakhayyilat)
yang menyusun apa yang disimpan dalam khayyal.
4.
Indra wahmiyah (estimasi)
yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, seperti
keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala.
5.
Indra pemelihara (rekoleksi) yang
menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh indra estimasi.
Dengan
demikian jiwa binatang lebih tinggi fungsinya dari pada jiwa tumbuh-tumbuhan,
bukan hanya sekedar makan, tumbuh dan berkembang biak, tetapi telah dapat
bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.
3.
Jiwa manusia, yang disebut juga al-nafs
al-nathiqat, mempunyai dua daya yaitu peraktis (al-‘amilat) dan
teoretis (al-‘alimat). Daya peraktis hubungannya dengan jasad, sedangkan
daya teoretis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini
mempunyai empat tingkatan berikut:
a.
Akal materil (al-‘aql
al-hayulany) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum
dilatih walaupun sedikit.
b.
Akal al-malakat (al-‘aql
bi al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang
abstrak.
c.
Akal aktual (al-‘aql bi
al-fi’il) yang dapat berpikir hal-hal abstrak.
d.
Akal mustafad (al-‘aql
al-mustafad), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal
abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan
menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
b.
Metafisika
Membicarakan
tentang hal-hal berikut ini:
1.
Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan
empat dalil, yaitu:
a.
Dalil alam kejiwaan
Dalil
ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua
jenis:
1.
Gerak paksaan, yaitu gerakan yang
timbul pada suatu benda, disebabkan ada dorongan dari luar.
2.
Gerakan tidak terpaksa, yaitu
gerakan yang terjadi baik dan sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan.
Gerakan yang sesuai dengan hukum alam, seperti batu jatuh dari atas ke bawah.
Sementara itu, yang berlawanan dengan hukum alam, manusia berjalan dan burung
terbang. Padahal, menurut berat badannya manusia harus diam, sedangkan burung
seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini terjadi karena adanya penggerak khusus yang
berbeda dengan unsur jisim (badan). Penggerak ini disebut dengan jiwa.
b.
Konsep “aku” dan kesatuan
fenomena psikologis.
Oleh Ibnu Sina
dalil ini didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan
pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya
adalah jiwa, bukan jisimnya. Ketika anda berkata, saya akan keluar atau
saya akan tidur, maka ketikaitu yang dimaksud bukanlah gerakan kaki atau
memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.
Begitu juga dalam masalah psikologi, terdapat keserasian
dan kordinasi mengesankan yang menunjukkan adanya suatu kekuatan yang menguasai
dan mengaturnya. Sekali pun masalah itu berbeda-beda, bahkan terkadang saling
bertentangan,namun semuanya berada pada satu fokus yang tetap dan berhubungan
pada suatu dasar yang tidak berubah-ubah, bagaikan diikat dengan ikatan yang
kokoh yang dapat menghimpun bagian-bagiannya yang berjauhan. Kekuatan yang
menguasai dan mengatur tersebut adalah jiwa.
c.
Dalil kontinuitas (al-istimrar)
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad.
Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita
pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena
telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya
dengan bagian jasad yang lain, selalu menglami perubahan. Sementara itu, jiwa
bersifat kontinu (istimrar), tidak mengalami perbahan dan pergantian.
Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir dan akan berlangsung
selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan
jasad.
d.
Dalil manusia terbang atau
melayang di udara.
Dalil ini menunjukkan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat
mengagumkan. Meskipun dasarnya bersifat asumsi atau khayalan, namun tidak
mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan.
Jika ada seseorang diciptakan sekalijadi dan mempunyai
wujud yang sempurna. Kemudian, diletakkan di udara dengan mata tertutup. Ia
tidat melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak
merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di
saat itu ia mengkhayalkan adanya tangan, kaki dan organ jasad lainnya, tetapi
organ jasad tersebut ia khayalkan bukan bagian dirinya. Dengan demikian,
berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan ahldari indra dan jasmaninya,
melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.
Demikianlah
dalil-dalil yang dikemukakan Ibnu Sina sebagai bukti adanya jiwa.
2.
Hakikat jiwa
Definisi jiwa yang dikemukan Aristoteles yang berbunyi: ”kesempurnaan
awal bagi jasadnya yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina.
Pasalnya, definisi tersebut belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang
membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles, manusia sebagaimana layaknya
benda alam lain terdiri dari dua unsur: madad (materi) dan shurat
(form). Materi adalah jasad manusia dan form adalah jiwa manusia.
Form inilah yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan awal bagi
jasad. Implikasinya hancurnya meteri atau jasad akan membawa hancurnya form atau
jiwa.
Justru itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad,
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini
mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari
materi-materi sebagaiman jasad. Kesatuan antara kedunya bersifat accident,
hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat
kepada Plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs
jauhar qo’im bi dzatih).
Untuk mendukung pendapatnya Ibnu Sina mengemukakan
beberapa argumen berikut:
a.
Jiwa dapat mengetahui objek
pemikiran (ma’qulat) dan ini tidak dapat dilakukan oleh jasad.
Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan objek pemikiran hanya terdapat dalam
akal dan tidak mempunyai tempat.
b.
Jiwa dapat mengetahui hal-hal
yang abstrak (kulliy) dan juga zatnya tanpa alat. Sementara itu, indra
dan khayal hanya dapat mengetahui yang konkret (juz’iy) dengan alat.
Jadi, jiwa memiliki hakikat yang berbeda dengan hakikat indra dan khayal.
c.
Jasad atau organnya jika
melakukan kerja berat atau berulang kali dapat menjadikan letih, bahkan dapat
menjadi rusak. Sebaliknya, jiwajika dipergunakan terus menerus berpikir tentang
masalah besar tidak dapat membuatnya lemah atau rusak.
d.
Jasad dan prangkatnya akan
mengalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya umur empat puluh tahun.
Sebaliknya, jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat, kecuali jika ia sakit.
Karenanya, jiwa bukan bagian dari jasad dan kedunya merupakan dua substansi
yang berbeda.
3.
Hubungan jasad dengan jiwa
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan Plato hubungan antara jiwa
dengan jasad, Aristoteles menggambarkan keduanya bersifat esensial. Sebaliknya,
Plato menghubungkan kedunya bersifat accident karena jiwa dan jasad
adalah dua substansi yang berdiri sendiri.
Dalam hal ini Ibnu Sina menerima penekanan Aristoteles
tentang eratnya hubungan jiwa dan jasad, namun hubungan yang bersifat esensial
ia tolak karena jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Dengan ini ia lebih
cendrung sependapat dengan Plato bahwa hubungan keduanya bersifat accident,
binasanya jasad tidak membawa binasa kepada jiwa.
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa
dan jasad, keduanya juga saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah
tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan
kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang ditempatinya.
Jika tidak demikian, tentu akan terjadinya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu
jasad ditempati beberapa jiwa.
4.
Kekekalan jiwa
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia berbeda dengan tubuhan
dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam
bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celakanya) di
akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulud). Jiwa, jiwa
adalah baharu (al-hudus) karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak
punya akhir).
Dalam menetapkan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan
tiga dalil berikut:
a.
Dalil al-infishal, yaitu
perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai
substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Karennya, jiwa
kekal walaupun jasad binasa. Sementara itu, jasad tidak adanya hidup tanpa
adanya jiwa.
b.
Dalil al-basathat, yaitu
jiwa adalah jauhar rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati. Pasalnya,
hidup (hayat) merupakan sifat bagi jiwa, mustahil bersifat dengan
lawannya, yakni fana dan mati. Karennya jiwa dinamakan juga dengan jauhar
basith (hidup selalu).
c.
Dalil al-musyahabat, dalil
ini bersifat metafisika. Jiwa manusia, sesuai dengan filsafat emanasi,
bersumber dari Akal Fa’al (Akal Sepuluh) pemberi segala bentuk. Akal
Sepuluh ini merupakan esensi yang berpikir, azali dan akal, maka jiwa sebagai ma’lul
(akibat)-nya akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab) -nya.
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa Ibnu Sina menempatkan
jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Di samping sebagai dasar
berpikir, jiwa manusia juga mempunyai daya-daya yang terdapat pada jiwa
tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Sina
jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan. Sementara itu, jiwa tumbuhan
dan hewan yang ada dalam diri manusia akan hancur dengan matinya badan dan
tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat
fisik dan jasmani, pembalasan untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia ini
juga.
Demikianlah bahasan tentang Ibnu Sina, sekali pun
kebanyakan pemikiran-pemikiran filsafatnya telah dikemukakan al-Farabi
sebelumnya, namun ia telah berhasil memberikan uraian secara rinci dan lengkap
dengan gaya yang menarik. Karenanya tepat sekali penilaian yang mengatakan
bahwa ditangan Ibnu Sinalah filsafat di dunia Islam Timur mencapai puncaknya
yang tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan
Terjemahnya
Madjid, Nurcholish.
“Khazanah Intelektual Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Souyb, Yoesoef. “Pemikiran
Islam Merobah Dunia”. (Medan: Firman Madju, 1984)
Zar, Sirajuddin.
“Filsafat Islam”. (Jakarta: Rajawali Pres. 2007)