Kamis, 07 Januari 2016

ilmu kalam penafsir



ALIRAN MU’TAZILAH
A.  Asal Usul sebutan Mu’tazilah
Mu’tazilah berarti “memisahkan diri”. Nama ini pada mulanya diberikan oleh orang yang bukan golongan mu’tazilah , karena tokoh pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan dirinya dari gurunya, Hasan al-Bashri.
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Bashrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Bashri di masjid Bashrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Bashri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Bashri masih berpikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Washil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Bashrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Bashri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir. [1]
Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam, sebenarnya nama tersebut suadah ada juga diapakai oleh orang-orang yang tidak mau turut campur tangan dalam pertikaian politik dimasa Usman daan Ali bin Abi Thalib, seperti satu golongan di Mesir yang didapati oleh Qais bin Sa’ad yang menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalna ila Kharbita). Mereka tidak mau ikut kepada salah satu golongan yang pro atau kontra terhadap Ali atau Usman.[2] Ali Sami’ an-Nasyir juga sepakat dengan pendapat ini,  hanya saja Mu’tazilah ketika itu belum merupakan suatu organisasi tersendiri atau tidak merupakan golongan yang tertentu, tetapi siapa saja yang menjauhkan diri dari pertentangan politikdan mereka lebih memusatkan pemikiran ilmu dan  Ibadat.[3]
Meskipun nama tersebut semulanya muncul dari  kalangan luar mu’tazilah namun dalam perkembangan berikutnya, secara diam-diam pengikut mu’tazilah menyetujui dan menggunakan nama tersebut sebagai nama sebuah aliran teologi mereka. Namun, pengertian memisahkan diri bagi mereka  tidak sama dengan pengertian yang diberikan oleh non-Mu’tazili. Bagi mereka memisahkan diri atau menjauhkan diri dari yang salah; sebagai tindakan terbaik. Untuk mendukung maksud dan pengertian tersebut mereka mengemukakan dalil al-Qur’an. QS: al-Muzzammil ayat 10:
÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã $tB tbqä9qà)tƒ öNèdöàf÷d$#ur #\ôfyd WxŠÏHsd ÇÊÉÈ
Artinya: “Dan Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.

Selain nama mu’tazilah, Mazhab ini dikenal pula dengan sebutan Ashhab al-‘Adl wa al-Tauhid atau Ahl al-‘Adl wa al-Tauhid. Dinamakan Ashhab al-‘Adl wa al-Tauhid karena mazhab ini bertolak dan menitik beratkan pendapat mereka pada aspek keadilan dan keesaan Allah SWT. Disebut al-Qodariyah karena mereka menganut paham free will dan free act; makhluk sendirilah yang menentukan dan mewujudkan perbuatannya. Mazhab ini dinamakan al-Muattilah sebab mereka menolak paham bahwa Tuhan memeliki sifat, dan disebut kaum rasionalis islam karena mereka memecahkan problema keagamaan khususnya masalah teologis secara fisolofis dan lebih banyak menggunakan rasio (akal). Dari beberapa nama yang diberikan kepada golongan ini, yang paling mereka sukai adalah Ashab al-‘Adl wa al-Tauhid.[4]

B.  Sejarah Timbulnya Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah sudah muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah. Istilah ini digunakan untuk orang-orang (para sahabat) yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik yang terjadi setelah Usman bin Affan wafat.
Pertentangan antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus pereng Jamal, dan perselisihan antara mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib sehingga pecah perang Shiffin. Sejumlah sahabat tidak mau terlibat dalam komplik politik berdarah tersebut. Mereka menjauhkan diri dari persoalan politik itu dan tidak memihak kepada sipapun. Di antara sahabat yang bersikap demikian adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sunan, dan Zaid bin Tsabit.
Karena mereka memisahkan diri dari kelompok-kelompok yang bertikai, mereka dinamakan Mu’tazilah yang berarti “ orang yang memisahkan diri”. Al-Naubakhti dalam kitabnya firaq al-syi’ah, sebagaimana dikutib oleh HAR Gibb dan J.H.Kramers, mengatakan setelah Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, sekelompok umat islam memisahkan diri (i’tizal) dari Ali, meskipun mereka menyetujui pengangkatan tersebut.Mereka ini disebut golongan Mu’tazilah.[5]
C.  Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah
1.      Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2.      Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3.      Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4.      An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
5.      Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6.      Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7.      Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

8.      Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9.      Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.[6]

D.  Pokok-Pokok Ajaran Mu’tazilah
1.    Tauhid (Keesaan Allah )
Mereka menafikan dan mentiadakan sifat-sifat Allah (Tuhan itu ada bersifat). Karena seandainya bersifat yang macam-macam, niscaya Allah swt berbilang (lebih dari satu). Inilah yang dimaksud mereka Ahli Tauhid, menafikan sifat-sifat Allah. Yang pertama menganjurkan aliran ini, ialah: Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid. Keduanya adalah orang-orang yang terkenal shaleh, taqwa, sahid dan wara’.[7] Allah tidak dapat dilihat mata Walaupun di akhirat nanti,   Al qur’an adalah makhluk.

2.    al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Mu’tazilah sangat menekankan bahwa Tuhan itu adil dan tidak akan berlaku zhalim kepada manusia. Karena itu, jika manusia berbuat baik akan diberi pahala dan jika berbuat jahat akan mendapat siksa. Dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Dan menurut mu’tazilah Tuhan tidak menghendaki keburukan bagi manusia, manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Manusia dengan kemampuan yang diberikan Tuhan pada dirinya dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan berarti ia sendiri yang menghendaki hal tersebut.
Dari prinsip ini timbul ajaran mu’tazilah  yang dikenal dengan nama al-Shalah wa al-Ashlah, maksudnya, Allah hanya menghendaki yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia.[8]

3.    al-Wa’ad wa al-Wa’id ( Janji dan Ancaman)
Yaitu janji Allah swt yang akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat jahat.Janji akan dipenuhi Allah swt karena Allah tidak mungkir terhadap janjinya. Dengan prinsip ini mu’tazilah menolak adanya syafa’at di hari kiamat sebab syafa’at (pertolongan atau pengampunan di hari akhirat) bertentangan dengan janji tuhan[9]

4.    al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Menurut ajaran ini, seorang yang muslim melakukan dosa besar dan tidak sempat kepada Allah swt tidaklah mukmin dan tidak pula kafir. Ia berada di antara keduanya,berada pada posisi di antara dua posisi (al-Manzilah bain al-Manzilatain). Ia tidak mukmin karena melakukan dosa besar dan tidak kafir karena masih percaya kepada Allah swt dan berpegang pada kalimah syahadat.Washil menyebut orang seperti ini sebagai orang fasiq.[10]

5.    Amar Makruf dan Nahi Mungkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqh daripada lapangan kepercayaan atau tauhid. Banyak ayat-ayat al-qur’an yang memuat tentang prinsip ini di antaranya:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.


Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ
Artinya:“Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang islam untuk penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat.
Sejarah ini menunjukkan betapa hebatnya golongan Mu’tazilah mempertahankan islam terhadap kesesatan-kesesatan yang terbesar luas pada permulaan masa Abbasiyah, yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran islam,bahkan tidak segan-segannya menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut,Meskipun terhadap golongan-golongan islam sendiri, sebagaimana yang dialami golongan ahli hadits dalam masalah qur-an. Menurut orang mu’tazilah orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan.[11]
E.  Kesimpulan
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang terbesar dan tertua. Yang dicetusakan oleh Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan dirinya dari gurunya, Hasan al-Bashri  Banyak sebutan mengenai kaum mu’tazilah salah satunya Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah). Sedangkan ajaran pokok mu’tazilah yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan Tuhan (Al-Adlu), Janji dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu), Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain), Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar). Dan yang paling penting yakni kegiatan orang-orang mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang mongolia atas dunia islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting masih hidup sampai sekarang dikalangan syiah zaidiah.





















Daftar Pustaka

Asmuni, Yusran,  Ilmu Tauhid, (Jakarta: RajaGrafindo, 1994).
Abd Mu’in, Taib Thahir,  Ilmu kalam, (Widjaya Jakarta,1966).
Hanafi, Ahmad,  Teologi Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1982).
Muslim M. Zein, Kuliah Theologi Islam, (Dipakai dalam lingkungan sendiri IAIN Imam Bonjol . Padang, 1980),
file:///E:/MU%27TAZILAH/Aliran%20Mu%E2%80%99tazilah%20%28Sejarah,%20Tokoh%20Dan%20Ajaranya%29%20_%20waskitozx.htm



[1] Muslim M. Zein, Kuliah Theologi Islam, (Dipakai dalam lingkungan sendiri IAIN Imam Bonjol . Padang, 1980), hal. 115
[2] Ibid
[3] Ibid, hal.  116
[4]Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: RajaGrafindo, 1994), hal. 111-112.   
[5]Ibid, hal. 112-113
[6]file:///E:/MU%27TAZILAH/Aliran%20Mu%E2%80%99tazilah%20%28Sejarah,%20Tokoh%20Dan%20Ajaranya%29%20_%20waskitozx.htm
[7] Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu kalam, (Widjaya Jakarta,1966), hal.103
[8]Yusran Asmuni, Op.cIt.,hal. 116
[9] Ibid
[10]Ibid.
[11]Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1982), hal.51

1 komentar:

  1. Baccarat | Learn More | Vegas Casino Online
    With 메리트카지노 over 1,100 live dealer games including Roulette, febcasino Blackjack, and Blackjack plus septcasino Baccarat, the casino brings you the fun of Vegas style.

    BalasHapus