ALIRAN MU’TAZILAH
A. Asal Usul sebutan Mu’tazilah
Mu’tazilah berarti “memisahkan diri”. Nama ini pada mulanya diberikan oleh
orang yang bukan golongan mu’tazilah , karena tokoh pendirinya, Washil bin
Atha’, tidak sependapat dan memisahkan dirinya dari gurunya, Hasan al-Bashri.
Beberapa versi tentang pemberian
nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi
antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di
Bashrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Bashri
di masjid Bashrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan
Al Bashri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Bashri masih
berpikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat
bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian
Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di
lingkungan masjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para
pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil
menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok
yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh
Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Washil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab,
diusir oleh Hasan Al Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara
mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan
diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu
tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra
Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid
Bashrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah
majelis Hasan Al Bashri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan
majelis Hasan Al Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata,
“ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan
tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan
peristiwa antara Washil dan Hasan Al Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah,
katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain
al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa
besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir. [1]
Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam,
sebenarnya nama tersebut suadah ada juga diapakai oleh orang-orang yang tidak
mau turut campur tangan dalam pertikaian politik dimasa Usman daan Ali bin Abi
Thalib, seperti satu golongan di Mesir yang didapati oleh Qais bin Sa’ad yang
menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalna ila Kharbita). Mereka tidak mau ikut
kepada salah satu golongan yang pro atau kontra terhadap Ali atau Usman.[2]
Ali Sami’ an-Nasyir juga sepakat dengan pendapat ini, hanya saja Mu’tazilah ketika itu belum
merupakan suatu organisasi tersendiri atau tidak merupakan golongan yang
tertentu, tetapi siapa saja yang menjauhkan diri dari pertentangan politikdan
mereka lebih memusatkan pemikiran ilmu dan
Ibadat.[3]
Meskipun nama tersebut semulanya muncul dari kalangan luar mu’tazilah namun dalam
perkembangan berikutnya, secara diam-diam pengikut mu’tazilah menyetujui dan
menggunakan nama tersebut sebagai nama sebuah aliran teologi mereka. Namun,
pengertian memisahkan diri bagi mereka
tidak sama dengan pengertian yang diberikan oleh non-Mu’tazili. Bagi
mereka memisahkan diri atau menjauhkan diri dari yang salah; sebagai tindakan
terbaik. Untuk mendukung maksud dan pengertian tersebut mereka mengemukakan
dalil al-Qur’an. QS: al-Muzzammil ayat 10:
÷É9ô¹$#ur 4n?tã $tB tbqä9qà)t öNèdöàf÷d$#ur #\ôfyd WxÏHsd ÇÊÉÈ
Artinya: “Dan Bersabarlah terhadap apa yang mereka
ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.
Selain nama mu’tazilah, Mazhab ini dikenal pula dengan
sebutan Ashhab al-‘Adl wa al-Tauhid atau Ahl al-‘Adl wa al-Tauhid.
Dinamakan Ashhab al-‘Adl wa al-Tauhid karena mazhab ini bertolak dan
menitik beratkan pendapat mereka pada aspek keadilan dan keesaan Allah SWT.
Disebut al-Qodariyah karena mereka menganut paham free will dan free
act; makhluk sendirilah yang menentukan dan mewujudkan perbuatannya. Mazhab
ini dinamakan al-Muattilah sebab mereka menolak paham bahwa Tuhan
memeliki sifat, dan disebut kaum rasionalis islam karena mereka memecahkan
problema keagamaan khususnya masalah teologis secara fisolofis dan lebih banyak
menggunakan rasio (akal). Dari beberapa nama yang diberikan kepada golongan
ini, yang paling mereka sukai adalah Ashab al-‘Adl wa al-Tauhid.[4]
B. Sejarah Timbulnya Aliran
Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah sudah muncul pada pertengahan abad
pertama Hijriah. Istilah ini digunakan untuk orang-orang (para sahabat) yang
memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik yang
terjadi setelah Usman bin Affan wafat.
Pertentangan antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali
bin Abi Thalib sehingga meletus pereng Jamal, dan perselisihan antara mu’awiyah
dan Ali bin Abi Thalib sehingga pecah perang Shiffin. Sejumlah sahabat tidak
mau terlibat dalam komplik politik berdarah tersebut. Mereka menjauhkan diri
dari persoalan politik itu dan tidak memihak kepada sipapun. Di antara sahabat
yang bersikap demikian adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar,
Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sunan, dan Zaid bin Tsabit.
Karena mereka memisahkan diri dari kelompok-kelompok yang
bertikai, mereka dinamakan Mu’tazilah yang berarti “ orang yang memisahkan
diri”. Al-Naubakhti dalam kitabnya firaq al-syi’ah, sebagaimana dikutib
oleh HAR Gibb dan J.H.Kramers, mengatakan setelah Ali bin Abi Thalib diangkat
menjadi khalifah, sekelompok umat islam memisahkan diri (i’tizal) dari
Ali, meskipun mereka menyetujui pengangkatan tersebut.Mereka ini disebut
golongan Mu’tazilah.[5]
C. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah
1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah
bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan,
dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari
tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah
yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy
as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar
digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula
menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak,
dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui
esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui
manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang
diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah
syar’iah).
4. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.
Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal
ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan
bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan
bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya
dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari
keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat
al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada
uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan
tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari
huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat
baru dan tidak kadim.
5. Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai
paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah
disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada
pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran
Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama
dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada
benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu
dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu
adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa
besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat
siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang
sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut
Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran.
Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata
kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan
surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang
dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang
karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.[6]
D. Pokok-Pokok Ajaran Mu’tazilah
1.
Tauhid (Keesaan Allah )
Mereka menafikan dan mentiadakan sifat-sifat Allah (Tuhan
itu ada bersifat). Karena seandainya bersifat yang macam-macam, niscaya Allah
swt berbilang (lebih dari satu). Inilah yang dimaksud mereka Ahli Tauhid, menafikan
sifat-sifat Allah. Yang pertama menganjurkan aliran ini, ialah: Washil bin
‘Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid. Keduanya adalah orang-orang yang terkenal shaleh,
taqwa, sahid dan wara’.[7]
Allah tidak dapat dilihat mata Walaupun di akhirat nanti, Al qur’an adalah makhluk.
2.
al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Mu’tazilah sangat menekankan bahwa Tuhan itu adil dan
tidak akan berlaku zhalim kepada manusia. Karena itu, jika manusia berbuat baik
akan diberi pahala dan jika berbuat jahat akan mendapat siksa. Dan manusia
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Dan menurut mu’tazilah
Tuhan tidak menghendaki keburukan bagi manusia, manusia sendirilah yang
menghendaki keburukan itu. Manusia dengan kemampuan yang diberikan Tuhan pada
dirinya dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan
berarti ia sendiri yang menghendaki hal tersebut.
Dari prinsip ini timbul ajaran mu’tazilah yang dikenal dengan nama al-Shalah wa
al-Ashlah, maksudnya, Allah hanya menghendaki yang baik, bahkan yang
terbaik untuk kemaslahatan manusia.[8]
3.
al-Wa’ad wa al-Wa’id ( Janji dan Ancaman)
Yaitu janji Allah swt yang akan memberikan pahala kepada
orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat jahat.Janji akan
dipenuhi Allah swt karena Allah tidak mungkir terhadap janjinya. Dengan prinsip
ini mu’tazilah menolak adanya syafa’at di hari kiamat sebab syafa’at
(pertolongan atau pengampunan di hari akhirat) bertentangan dengan janji tuhan[9]
4.
al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Menurut ajaran ini, seorang yang muslim melakukan dosa
besar dan tidak sempat kepada Allah swt tidaklah mukmin dan tidak pula kafir.
Ia berada di antara keduanya,berada pada posisi di antara dua posisi
(al-Manzilah bain al-Manzilatain). Ia tidak mukmin karena melakukan dosa besar
dan tidak kafir karena masih percaya kepada Allah swt dan berpegang pada
kalimah syahadat.Washil menyebut orang seperti ini sebagai orang fasiq.[10]
5.
Amar Makruf dan Nahi Mungkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan
lapangan fiqh daripada lapangan kepercayaan atau tauhid. Banyak ayat-ayat
al-qur’an yang memuat tentang prinsip ini di antaranya:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.
Óo_ç6»t ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# ÷É9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºs ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ
Artinya:“Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang islam
untuk penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat.
Sejarah ini menunjukkan betapa hebatnya golongan
Mu’tazilah mempertahankan islam terhadap kesesatan-kesesatan yang terbesar luas
pada permulaan masa Abbasiyah, yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran
islam,bahkan tidak segan-segannya menggunakan kekerasan dalam melaksanakan
prinsip tersebut,Meskipun terhadap golongan-golongan islam sendiri, sebagaimana
yang dialami golongan ahli hadits dalam masalah qur-an. Menurut orang
mu’tazilah orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan.[11]
E. Kesimpulan
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang
terbesar dan tertua. Yang dicetusakan oleh Washil bin Atha’, tidak sependapat
dan memisahkan dirinya dari gurunya, Hasan al-Bashri Banyak sebutan mengenai kaum mu’tazilah salah
satunya Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (golongan yang mempertahankan keadilan
dan keesaan Allah). Sedangkan ajaran pokok mu’tazilah yakni tentang : Keesaan
(at-Tauhid), Keadilan Tuhan (Al-Adlu), Janji dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu),
Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain), Menyuruh
kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf
nahi munkar). Dan yang paling penting yakni kegiatan orang-orang mu’tazilah
baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang mongolia atas
dunia islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting
masih hidup sampai sekarang dikalangan syiah zaidiah.
Daftar Pustaka
Asmuni, Yusran,
Ilmu Tauhid, (Jakarta:
RajaGrafindo, 1994).
Abd Mu’in, Taib
Thahir, Ilmu kalam, (Widjaya
Jakarta,1966).
Hanafi, Ahmad,
Teologi Islam, (Jakarta:Bulan
Bintang,1982).
Muslim M. Zein, Kuliah Theologi Islam, (Dipakai
dalam lingkungan sendiri IAIN Imam Bonjol . Padang, 1980),
file:///E:/MU%27TAZILAH/Aliran%20Mu%E2%80%99tazilah%20%28Sejarah,%20Tokoh%20Dan%20Ajaranya%29%20_%20waskitozx.htm
[1] Muslim M. Zein, Kuliah
Theologi Islam, (Dipakai dalam lingkungan sendiri IAIN Imam Bonjol .
Padang, 1980), hal. 115
[6]file:///E:/MU%27TAZILAH/Aliran%20Mu%E2%80%99tazilah%20%28Sejarah,%20Tokoh%20Dan%20Ajaranya%29%20_%20waskitozx.htm
[8]Yusran
Asmuni, Op.cIt.,hal. 116
[10]Ibid.
[11]Ahmad
Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1982), hal.51
Baccarat | Learn More | Vegas Casino Online
BalasHapusWith 메리트카지노 over 1,100 live dealer games including Roulette, febcasino Blackjack, and Blackjack plus septcasino Baccarat, the casino brings you the fun of Vegas style.